Tanggal 9 Juli 1942 Sukarno ditarik dari Sumatera oleh Jepang, atas permintaan Angkatan Darat ke-16. Bergabung dengan Hatta dan Sjahrir. Sukarno tidak begitu tertarik terhadap perbedaan-perbedaan teoretis antara fasisme dan demokrasi dan menganggap perang tersebut sebagai pertarungan antara kedua macam imperialisme.
Tanggal 9 Juli 1942, Soekarno bergabung dengan Hatta bekerja sama dengan pihak Jepang demi tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta mulai segera mendesak pihak Jepang supaya membentuk suatu organisasi politik massa di bawah pimpinan mereka.
Perlawan kelompok di luar Jawa terhadap Jepang
Di luar Jawa ada beberapa perlawanan dari kelompok-kelompok yang tidak ada kaitannya dengan kaum politisi perkotaan dari masa sebelum perang. Pemberontakan petani terhadap pihak Jepang di Aceh dipimpin oleh seorang ulama muda bulan November 1942, tetapi dapat ditumpas.
Di Kalimantan Barat dan Selatan pihak Jepang mencurigai adanya komplotan-komplotan yang melawan mereka dari kalangan orang-orang Cina, para pejabat, dan bahkan para sultan. Semua gerakan semacam itu dihancurkan melalui penangkapan dan pemenjaraan, termasuk dua belas orang sultan, di Kalimantan Barat.
Suatu usaha untuk mendirikan sebuah negara Islam di daerah Amuntai, Kalimantan Selatan, ditumpas pada bulan September 1943. Pada akhir tahun 1944 orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai membunuhi orang-orang Jepang.
Akan tetapi, tak satu pun dari bentuk-bentuk perlawanan rakyat tersebut yang benar-benar mengancam kekuasaan Jepang, dan semuanya mengalami akibat yang sangat buruk.
Jepang mencari pemimpin-pemimpin Indonesia untuk membantu Jepang
Di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang serius sampai tahun 1944. Sementara itu, pihak Jepang mencari pemimpin-pemimpin Indonesia untuk membantu mereka memobilisasikan rakyat demi kepentingan perang.
Pada bulan September 1942 di Jakarta diselenggarakan konferensi para pemimpin Islam yang yang mengecewakan pihak Jepang dan memaksa mengalihkan pandangan mereka kepada kelompok-kelompok pimpinan lainnya.
Pihak Jepang mengharap penggantian MIAI dari masa sebelum perang dengan suatu organisasi baru yang berada di bawah bimbingan mereka.
Akan tetapi, para pemimpin Islam tidak hanya memutuskan untuk tetap mempertahankan MIAI melainkan juga memilih pimpinan baru yang lebih didominasi oleh tokoh-tokoh PSII daripada pemimpinpemimpin Muhammadiyah dan NU yang pada dasarnya bersifat nonpolitik. Pihak Jepang memang sudah meragukan para politisi Islam perkotaan.
Baca juga Dampak Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Jepang mulai menyadari bahwa jalan menuju rakyat melalui Islam hanya dapat diberikan oleh Muhammadiyah dan NU yang memiliki sekolah-sekolah, kegiatan-kegiatan kesejahteraan, dan hubungan informal yang membentang dari wilayah perkotaan sampai ke kota-kota kecil serta desa-desa, dan tidak mempunyai tuntutan politik yang jelas.
Leave a Reply