Soeharto merupakan sosok yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, dari 1966 hingga 1998, di bawah rezim Orde Baru. Ia berhasil mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai strategi politik, ekonomi, sosial, serta militer. Stabilitas nasional yang dijaga dengan ketat, kontrol terhadap media, dukungan militer, serta kebijakan ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu menjadi faktor utama yang membuat Soeharto bertahan selama lebih dari tiga dekade. Artikel Strategi Soeharto dalam Mempertahankan Kekuasaan Selama 32 Tahun akan membahas strategi utama yang digunakan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.
1. Menggunakan Militer sebagai Pilar Kekuasaan
Salah satu faktor utama yang membuat Soeharto dapat bertahan lama sebagai presiden adalah dukungan kuat dari militer, khususnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ia menggunakan militer dalam berbagai aspek pemerintahan dan politik, dengan strategi sebagai berikut:
- Dwi Fungsi ABRI: Militer tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, tetapi juga aktif dalam politik dan pemerintahan. Hal ini memungkinkan Soeharto menempatkan loyalisnya di berbagai jabatan strategis.
- Menekan Oposisi dengan Rezim Militeristik: Aparat keamanan sering kali digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah, termasuk melalui operasi penumpasan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam stabilitas nasional.
- Operasi Militer di Daerah Rawan: Soeharto menjalankan operasi militer di daerah-daerah seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur untuk mengendalikan gerakan separatis.
2. Golkar sebagai Mesin Politik
Soeharto membangun sistem politik yang didominasi oleh Golkar, partai yang menjadi kendaraan politik utamanya. Golkar berperan besar dalam menjaga stabilitas politik dan memastikan kemenangan Soeharto dalam setiap pemilu. Strategi yang digunakan meliputi:
- Mobilisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS): PNS diwajibkan untuk mendukung Golkar, sehingga partai ini memiliki basis suara yang kuat.
- Pemilu yang Dikendalikan: Meskipun pemilu tetap dilakukan, hasilnya hampir selalu menguntungkan Golkar karena adanya rekayasa politik dan pembatasan terhadap partai oposisi.
- Menekan Partai Oposisi: Partai politik yang dianggap berseberangan, seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sering kali mengalami tekanan politik yang kuat.
3. Mengontrol Media dan Propaganda
Soeharto memahami pentingnya media dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, ia menerapkan kontrol ketat terhadap media melalui berbagai cara:
- Pembredelan Pers: Media yang terlalu kritis terhadap pemerintah, seperti Tempo, Detik, dan Editor, sering kali dibredel atau dicabut izin terbitnya.
- Sensor Ketat terhadap Pemberitaan: Pemerintah mengontrol informasi yang boleh disiarkan oleh media, terutama yang terkait dengan kritik terhadap pemerintah.
- Membangun Citra Diri sebagai Bapak Pembangunan: Soeharto membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang berjasa dalam pembangunan nasional, dengan memanfaatkan media untuk menampilkan program-program suksesnya.
4. Pembangunan Ekonomi sebagai Legitimasi
Keberhasilan ekonomi sering kali dijadikan alasan untuk mempertahankan Soeharto di kursi kekuasaan. Ia menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang menarik bagi rakyat dan elite bisnis:
- Pertumbuhan Ekonomi yang Stabil: Pada era 1970-an hingga 1980-an, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, terutama karena booming minyak.
- Pembangunan Infrastruktur: Pembangunan jalan, bendungan, dan irigasi digunakan sebagai alat propaganda keberhasilan pemerintah.
- Kebijakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme): Meskipun banyak dikritik, sistem ini justru menguntungkan kelompok elite yang setia kepada Soeharto, sehingga mereka tetap mendukungnya.
Baca juga: Contoh Positif Generasi Muda Memaknai Kemerdekaan