Era Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Soeharto dikenal sebagai periode stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Namun, di balik keberhasilan tersebut, terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru, Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan represif untuk mengendalikan masyarakat, termasuk membungkam kebebasan pers, menekan oposisi politik, serta melakukan tindakan kekerasan terhadap para aktivis dan kelompok masyarakat yang dianggap mengancam stabilitas negara. Artikel ini akan membahas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru, dari pembredelan pers hingga tragedi 1998 yang menjadi titik akhir rezim ini.
Pembredelan Pers dan Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Kebebasan pers di era Orde Baru sangat dikontrol oleh pemerintah. Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional dan sering kali berujung pada pembredelan media atau penangkapan jurnalis.
1. Penyensoran dan Pengendalian Media
Pemerintah menggunakan Departemen Penerangan sebagai alat untuk mengawasi dan mengontrol pemberitaan media. Surat kabar dan majalah yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah kerap kali dicabut izin terbitnya. Beberapa kasus pembredelan pers yang terkenal meliputi:
- Pembredelan Harian KAMI (1974) akibat pemberitaannya terkait peristiwa Malari.
- Penutupan Majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994) karena mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah.
- Sensor ketat terhadap siaran radio dan televisi yang hanya boleh menyiarkan informasi yang mendukung kebijakan pemerintah.
2. Penangkapan Jurnalis dan Aktivis Pers
Banyak jurnalis dan aktivis pers yang ditangkap atau dipaksa diam. Mereka yang tetap berani menyuarakan kebenaran sering kali menghadapi ancaman, seperti pemenjaraan tanpa proses hukum yang jelas atau penculikan oleh aparat keamanan.
Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis
Orde Baru dikenal dengan kebijakan represifnya terhadap oposisi dan aktivis pro-demokrasi. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling serius adalah penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis yang dianggap sebagai ancaman.
1. Operasi Penumpasan Aktivis
Pada tahun 1997-1998, menjelang jatuhnya Soeharto, sejumlah aktivis pro-demokrasi diculik oleh aparat keamanan. Beberapa di antaranya kemudian dibebaskan, sementara yang lain menghilang tanpa jejak. Operasi ini diduga dilakukan oleh Tim Mawar, sebuah unit dalam Kopassus yang bertugas menekan gerakan pro-demokrasi.
2. Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998
Beberapa aktivis yang diculik antara lain:
- Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis yang hingga kini masih hilang.
- Munir Said Thalib, yang kemudian menjadi salah satu tokoh HAM sebelum dibunuh dengan racun arsenik pada 2004.
- 13 aktivis lainnya yang hingga kini tidak diketahui nasibnya.
Kekerasan terhadap Demonstran dan Tragedi 1998
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 memicu gelombang demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi dan pengunduran diri Soeharto. Namun, pemerintah merespons dengan tindakan kekerasan yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat.
1. Tragedi Trisakti (12 Mei 1998)
Pada 12 Mei 1998, aparat keamanan menembaki mahasiswa Universitas Trisakti yang menggelar demonstrasi damai menuntut reformasi. Empat mahasiswa tewas dalam insiden ini, yaitu:
- Elang Mulya Lesmana
- Hafidin Royan
- Hendriawan Sie
- Hery Hartanto
Peristiwa ini memicu gelombang kemarahan rakyat dan mempercepat jatuhnya Soeharto.
2. Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan besar meletus di Jakarta dan beberapa kota lainnya pada 13-15 Mei 1998. Kekacauan ini menyebabkan:
- Penjarahan dan pembakaran properti.
- Kekerasan terhadap etnis Tionghoa, termasuk pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa.
- Ribuan korban jiwa akibat aksi brutal aparat dan massa tak terkendali.
Hingga kini, banyak pelaku dalam tragedi ini belum diadili secara tuntas.
Baca juga: Indonesia dari Masa Kemerdekaan Hingga Masa Reformasi