Kebudayaan sebagai Peradaban manusia di muka bumi, Kebudayaan sebagai Peradaban Gagasan tentang budaya sebagai peradaban dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang budaya sebagai peradaban ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya.
Kebudayaan sebagai peradaban
Mereka menganggap kebudayaan sebagai peradaban sebagai lawan kata dari alam. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang elit seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas kebudayaan di atas.
Sebagai contoh, jika seseorang berpendapat bahwa musik klasik adalah musik yang berkelas, elit, dan bercitarasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang sudah berkebudayaan.
Orang yang menggunakan kata kebudayaan dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia.
Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan berbeda dengan mereka yang berkebudayaan disebut sebagai orang yang tidak berkebudayaan; bukan sebagai orang dari kebudayaan yang lain.
Orang yang tidak berkebudayaan dikatakan lebih alami, dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran manusia alami (human nature).
Perbedaan Kebudayaan
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan tidak alami yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia.
Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan jalan hidup yang alami (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap tidak elit dan kebudayaan elit adalah sama masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan.
Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
Kebudayaan dalam pandangan umum
Selama era Romantis, para cendikiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam sudut pandang umum.
Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara berkebudayaan dengan tidak berkebudayaan atau kebudayaan primitif.
Baca juga Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik dan Pola Penyelesaian Konflik
Kebudayaan sebagai Peradaban manusia, pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.