Belanda mengeluarkan maklumat dengan masyarakat Sumatra Barat. Pada tanggal 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat yang disebut Plakat Panjang. Isinya mengajak penduduk Sumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang.
Namun, pada bulan Juni 1834 Belanda kembali melancarkan serangan kepada kaum Paderi yang berlangsung selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Pada tanggal 16 Agustus 1837, pertahanan Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol dan para pengikutnya berhasil lolos.
Pada tanggal 25 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol tiba di Palupuh untuk berunding. Namun, Belanda berkhianat dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol dan membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan terakhir ke Lota dekat Manado. Ia wafat dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.
Aceh melakukan perlawanan
Di Aceh, rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda sehingga menimbulkan Perang Aceh. Seperti halnya zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Kerajaan Aceh mengalami kejayaan kembali pada abad ke 18 sampai abad ke-19.
Dalam hubungannya dengan kekuatan Barat dan negara tetangga, Aceh mampu memainkan posisi strategis dan kemampuan diplomatiknya yang baik sehingga dihormati oleh kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk bangsa Barat.
Karena kemampuan tersebut, kedudukan Aceh dihormati oleh dua kekuasaan kolonial yang berada di sekitar wilayah Aceh, yaitu Inggris dan Belanda melalui Traktat London pada 1824. Namun, sejak Terusan Suez dibuka, Aceh yang memiliki kedudukan strategis di Selat Malaka menjadi incaran kekuatan Barat. Untuk mengantisipasi hal tersebut pada 1871 Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatra.
Aceh menolak tuntutan Belanda
Melihat gelagat ini Aceh mulai mencari bantuan dan dukungan ke luar negeri. Kegiatan diplomatik ini mulai mencemaskan Belanda. Belanda yang merasa takut disaingi mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di nusantara. Kerajaan Aceh menolak tuntutan Belanda tersebut.
Penolakan ini mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873. Pasukan tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler. Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan, bahkan Mayor Jenderal Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh.
Serangan kedua dilakukan Belanda pada bulan Desember 1873 dan berhasil merebut istana kerajaan Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten memproklamirkan bahwa Kerajaan Aceh berhasil dikuasai. Pernyataan ini tidak terbukti karena kenyataannya Aceh tidak jatuh dan daerah-daerah di luar Kutaraja masih dikuasai oleh para pejuang Aceh.
Walaupun telah dilakukan serangan secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukan. Oleh karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronye seorang ahli kajian Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, Teuku Cik Ditiro meninggal. Selanjutnya, pada 1893, Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda. Namun, pada Maret 1896, ia kabur dan bergabung kembali bersama para pejuang dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar akhirnya tewas di Meulaboh.
Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Cut Nyak Dhien. Bersama para pengikutnya ia melakukan perlawanan terhadap Belanda secara gerilya di hutan-hutan. Pada November 1902, Belanda menangkap dua orang isteri Sultan Aceh dan anak-anaknya.
Belanda kemudian memerintahkan Sultan untuk memilih menyerah atau keluarganya akan dibuang. Oleh karena itu, pada 10 Januari 1903, Sultan Daudsyah menyerah. Demikian pula Panglima Polim dan beberapa hulubalang yang menyerah pada September 1903.
Baca juga Perlawanan Menentang Praktek Imperialisme dan Kolonialisme
Belanda menganggap dengan menyerahnya Sultan Aceh, perlawanan rakyat telah selesai. Namun, perkiraan ini salah. Ternyata perlawanan rakyat masih terus berlangsung secara gerilya. Pada 1905, Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap di hutan. Adapun pejuang wanita lainnya, yaitu Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Baru pada 1912 Perang Aceh benar-benar berakhir.