Multikultural secara etimologis digunakan pada tahun 1950- an di Kanada

Multikultural secara etimologis digunakan pada tahun 1950- an di Kanada

Multikultural secara etimologis digunakan pada tahun 1950- an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism berasal dari kata multicultural.

Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multilingual“. 

Konsep multikulturalisme

Multikultural secara etimologis, tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.ย 

Multikulturalisme mau tidak mau juga akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta tingkat serta mutu produktifitas (Tobroni, dkk: 2007).  

Dufty (1996) menjelaskan

Bahwa multikultural sebagai masyarakat yang kelompok dan anggotanya mampu melakukan ko-eksistensi secara harmonis, bebas memelihara keyakinan mereka, bahasa dan kebiasaan serta tradisi yang dikembangkan, dilaksanakan dan dijunjung tinggi. 

Multikultural sering diidentikkan dengan pluralisme, padahal ada beberapa perbedaan diantara kedua konsep tersebut. Pluralisme pada dasarnya memiliki beberapa makna, yakni sebagai doktrin, sebagai model dan keterkaitannya dengan konsep lain (Liliweri, 2005). 

Doktrin Pluralime

Sebagai doktrin pluralisme sering dimaknai bahwa dalam setiap hal, tidak ada satu pun sebab bersifat tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi terjadinya perubahan masyarakat. Sementara itu, pluralisme sebagai model, memungkinkan terjadinya peran individu atau kelompok yang beragam dalam masyarakat.

Pluralisme merupakan suatu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, harus dapat diuji melalui interaksi yang beragam faktor dan bukan dianalisis hanya dari satu faktor sematamata, dan keberagaman faktor itu adalah faktor kebudayaan.

Dengan mengutip pandangan John Gray, Liliweri menegaskan bahwa pada dasarnya plurarisme mendorong perubahan cara berpikir dari cara berpikir monokultur ke arah cara berpikir multikultur.  

Dengan demikian, multikultur bukan hanya sekedar bermakna keberagaman budaya, tetapi lebih kepada cara berpikir, cara bertindak, dan berperilaku terhadap keberagaman budaya yang ada dalam masyarakat. 

Multikulturalisme sebagai cara berpikir

Multikulturalisme lebih bermakna sebagai cara berpikir, cara bertindak, dan berperilaku manusia dalam memandang kebudayaan lain yang berbeda atau beragam denga kebudayaan kita adalah sebagai suatu hal yang wajar.

Oleh karena itu menghargai dan menghormati kebudayaan lain serta memandang kebudayaan masyarakat lain secara sama adalah suatu keharusan. Multikulturalisme memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kebudayaannya. 

Memandang kebudayaan masyarakat lain secara sama adalah suatu keharusan (ilustrasi foto/xraydelta)

Pluralisme sebagai keberagaman beragama

Berbeda dengan pemikiran di atas, Mohammad Ali (2003) lebih memusatkan konsep pluralisme pada keberagaman agama. Menurutnya, mengakui pluralisme agama sama sekali tidak berarti menghancurleburkan bangunan dasar teologis agama mana pun yang telah terbukti eksis dalam sejarah peradaban umat manusia. 

Lebih tegas lagi, bahwa memasyarakatkan pluralisme agama dan praktik politik pluralis yang demokratis, menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat pluralis Indonesia.

Baca juga Ringkasan Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia

Pluralisme agama tidak sekadar persoalan mengakomodasi klaim-klaim kebenaran agama dalam wilayah pribadi, tetapi juga persoalan kebijakan publik di mana pemimpin agama harus mengakui dan melindungi kebebasan beragama. 

Menurut Al Hakim (2006) esensi masyarakat pluralis-multikultural dapat digambarkan sebagai idealisasi masyarakat dimana kelompok dalam masyarakat mampu melakukan ko-eksistensi secara harmonis, bebas memelihara keyakinan mereka, bahasa dan kebiasaan serta tradisi yang dikembangkan, dilaksanakan dan dijunjung tinggi (Dufty, 1996).  


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

asean budaya imperialisme indonesia islam kebudayaan kerajaan islam kolonial kolonialisme Kondisi geografis konflik masyarakat nasionalisme negara nusantara pancasila pelajaran ips pendidikan pengaruh islam penjajahan Penjelajahan samudra Penyebaran Islam Politik puasa ramadhan sejarah sejarah islam Sekolah