Demokrasi Terpimpin yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1965 merupakan fase penting dalam sejarah politik Indonesia. Sistem ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno, yang menerapkan kekuasaan terpusat dengan mengedepankan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Akhir dari Demokrasi Terpimpin, pada pertengahan 1960-an, sistem ini menghadapi berbagai tantangan besar, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial.
Peristiwa penting yang menandai Akhir dari Demokrasi Terpimpin adalah Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966), yang memberikan kewenangan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengendalikan keamanan negara. Supersemar menjadi titik awal dari transisi menuju Orde Baru, menggantikan era kepemimpinan Soekarno yang semakin melemah.
Artikel ini akan membahas secara mendalam penyebab runtuhnya Demokrasi Terpimpin, peran Supersemar, dan bagaimana transisi kekuasaan ke Orde Baru berlangsung.
Latar Belakang Runtuhnya Demokrasi Terpimpin
1. Krisis Ekonomi yang Berkepanjangan
Pada pertengahan 1960-an, ekonomi Indonesia mengalami hiperinflasi yang mencapai lebih dari 600%. Pemerintah Soekarno gagal mengendalikan ekonomi akibat kebijakan yang tidak efektif, termasuk pengeluaran besar untuk proyek mercusuar seperti pembangunan Monas dan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika. Selain itu, investasi asing juga menurun akibat kebijakan anti-kapitalisme.
2. Ketegangan Politik dan Peran PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin dominan dalam pemerintahan, memicu ketegangan dengan militer dan kelompok-kelompok Islam. PKI berusaha memengaruhi kebijakan nasional, termasuk usulan membentuk “Angkatan Kelima” yang terdiri dari buruh dan petani bersenjata. Hal ini membuat militer semakin khawatir terhadap potensi pemberontakan bersenjata.
3. Peristiwa G30S/PKI (30 September 1965)
Puncak dari ketegangan politik terjadi pada 30 September 1965, ketika enam jenderal TNI Angkatan Darat dibunuh oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Peristiwa ini memicu respons keras dari militer yang dipimpin oleh Soeharto, yang kemudian melakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok yang diduga terkait dengan PKI.
4. Kemunduran Soekarno
Setelah G30S, posisi Soekarno semakin terisolasi. Dia gagal memberikan penjelasan meyakinkan mengenai peristiwa tersebut dan kehilangan dukungan dari militer serta masyarakat. Pada akhirnya, Soekarno terpaksa memberikan Supersemar kepada Soeharto pada 11 Maret 1966.
Supersemar: Titik Balik Sejarah Indonesia
Apa Itu Supersemar?
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah dokumen yang ditandatangani oleh Soekarno pada 11 Maret 1966, yang memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan dalam mengendalikan situasi keamanan negara. Supersemar menjadi dasar bagi Soeharto untuk membubarkan PKI dan mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.
Isi dan Implikasi Supersemar
Meskipun teks asli Supersemar tidak pernah ditemukan secara resmi, isinya memberikan wewenang kepada Soeharto untuk:
- Mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
- Mengamankan Presiden Soekarno.
- Mencegah tindakan yang dapat membahayakan negara.
Dengan dasar ini, Soeharto segera mengambil langkah-langkah penting:
- Membubarkan PKI dan melarang seluruh aktivitasnya pada 12 Maret 1966.
- Menangkap tokoh-tokoh politik yang diduga terkait dengan PKI.
- Mengendalikan pemerintahan secara de facto.
Transisi ke Orde Baru
1. Penghapusan Pengaruh Soekarno
Setelah Supersemar, pengaruh Soekarno semakin menurun. Pada Sidang MPRS tahun 1967, Soekarno resmi dilengserkan sebagai Presiden dan digantikan oleh Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian, Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia.
Baca juga: Siapa Tokoh yang Paling Menginspirasimu dalam Belajar? Apa yang Bisa Kamu Pelajari dari Mereka?