Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dan era kolonialisme, Nusantara sudah menjadi pusat perdagangan maritim yang sangat penting. Salah satu pelabuhan utama yang memainkan peran besar dalam jaringan perdagangan itu adalah Sunda Kelapa. Pelabuhan ini, yang kini dikenal sebagai bagian dari Jakarta, menyimpan sejarah panjang sebagai gerbang utama perdagangan dan pertemuan berbagai budaya. Bagaimana Sunda Kelapa Sebelum Kolonialisme?
Asal Usul Sunda Kelapa
Sunda Kelapa berakar dari kekuasaan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah barat Pulau Jawa. Nama “Sunda Kelapa” sendiri muncul dari kombinasi nama kerajaan dan istilah lokal yang merujuk pada hasil alam, yakni kelapa, yang saat itu menjadi salah satu komoditas utama.
Diperkirakan sejak abad ke-5 Masehi, Sunda Kelapa sudah berfungsi sebagai pelabuhan penting. Lokasinya yang strategis di muara Sungai Ciliwung menjadikan pelabuhan ini titik temu antara jalur perdagangan internasional dan domestik. Barang-barang seperti lada, beras, emas, dan kayu keras menjadi komoditas yang diperdagangkan di sini.
Fungsi Sunda Kelapa dalam Perdagangan Nusantara
Sebelum kolonialisme, Nusantara dikenal dalam dunia perdagangan global karena kekayaan hasil bumi dan rempah-rempahnya. Sunda Kelapa berfungsi sebagai:
- Pelabuhan Ekspor-Impor: Lada dari Banten, beras dari Priangan, dan hasil hutan dari pedalaman Sunda diekspor melalui Sunda Kelapa. Sebaliknya, barang-barang mewah seperti keramik dari Tiongkok, kain dari India, dan logam dari Timur Tengah diimpor melalui pelabuhan ini.
- Pusat Distribusi Regional: Barang-barang dari luar negeri tidak hanya dikonsumsi lokal, tetapi juga didistribusikan ke wilayah lain di Nusantara, seperti pesisir utara Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
- Tempat Pertemuan Budaya: Sunda Kelapa menjadi melting pot berbagai budaya. Para pedagang dari Tiongkok, India, Arab, dan bahkan dari wilayah Asia Tenggara lain bertemu dan berinteraksi di sini, menciptakan perpaduan budaya yang kaya.
Hubungan Sunda Kelapa dengan Kerajaan Sunda
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan bagian integral dari kekuatan Kerajaan Sunda. Dalam naskah kuno seperti Carita Parahyangan dan Bujangga Manik, disebutkan bahwa pelabuhan ini adalah “pintu dunia” bagi kerajaan.
Untuk melindungi kepentingannya, Kerajaan Sunda membangun benteng-benteng pertahanan dan mengatur jalur perdagangan dengan ketat. Pemerintahan kerajaan bahkan menetapkan pajak pelabuhan yang cukup tinggi bagi para pedagang asing, namun tetap menjaga hubungan diplomatik agar arus perdagangan tetap lancar.
Ancaman dan Perebutan Kekuasaan
Karena posisi strategisnya, Sunda Kelapa menjadi incaran banyak kekuatan regional. Pada abad ke-15, kekuasaan Islam mulai menguat di Nusantara, terutama melalui Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten.
Pada 1527, Fatahillah, utusan dari Kesultanan Demak, berhasil merebut Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda. Setelah penaklukan tersebut, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna”. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam perubahan geopolitik Nusantara, menandai akhir dominasi Kerajaan Sunda di wilayah pesisir utara Jawa Barat.
Kehidupan Sosial Ekonomi di Sunda Kelapa
Kehidupan di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa sebelum kolonialisme sangat dinamis. Tidak hanya pedagang besar yang beraktivitas di sana, tetapi juga:
- Para nelayan yang menangkap ikan di pesisir.
- Pengrajin yang membuat barang-barang untuk kebutuhan perdagangan.
- Buruh pelabuhan yang membantu bongkar-muat barang.
- Penjaja makanan dan minuman yang memenuhi kebutuhan para pelaut dan pedagang.
Sistem perdagangan di Sunda Kelapa menggunakan berbagai macam mata uang, mulai dari keping emas dan perak hingga barter barang berharga. Pasar-pasar di sekitar pelabuhan ramai dikunjungi orang dari berbagai latar belakang.
Sunda Kelapa dalam Catatan Penjelajah Asing
Sejumlah catatan dari penjelajah asing menyebutkan kemegahan Sunda Kelapa. Tomé Pires, dalam Suma Oriental (1512-1515), menyebut Sunda Kelapa sebagai pelabuhan yang kaya dengan hasil lada terbaik di dunia. Ia juga mencatat bahwa Kerajaan Sunda mengadakan hubungan diplomatik dengan Portugis untuk melindungi pelabuhan ini dari ancaman kerajaan-kerajaan Islam.
Namun, perjanjian tersebut tidak sempat menyelamatkan Sunda Kelapa dari serangan Fatahillah. Portugis datang terlambat, sehingga kekuasaan atas pelabuhan ini sudah beralih ke pihak Demak.
Baca juga: Pelabuhan Sunda Kelapa di Masa Kolonial: Peran VOC dan Pemerintah Hindia Belanda
Pentingnya Sunda Kelapa dalam Sejarah Nusantara
Sunda Kelapa bukan sekadar pelabuhan biasa. Ia adalah cermin dari kemajuan peradaban maritim Nusantara sebelum kolonialisme. Fungsi ekonominya yang vital, peran budayanya yang kosmopolitan, dan posisinya dalam perebutan kekuasaan politik menunjukkan betapa pentingnya pelabuhan ini dalam sejarah Indonesia.
Mengenal Sunda Kelapa berarti mengenal salah satu jantung perdagangan kuno Nusantara yang berpengaruh besar terhadap pembentukan kota Jakarta modern.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa itu Sunda Kelapa?
Sunda Kelapa adalah pelabuhan kuno yang terletak di wilayah yang kini menjadi bagian dari Jakarta. Sebelum era kolonialisme, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan terpenting di Nusantara.
2. Siapa yang menguasai Sunda Kelapa sebelum kolonialisme?
Sunda Kelapa dikuasai oleh Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan Hindu yang berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa.
3. Apa yang diperdagangkan di Sunda Kelapa?
Barang-barang utama yang diperdagangkan di Sunda Kelapa termasuk lada, beras, emas, kayu keras, serta barang-barang impor seperti keramik Tiongkok dan kain India.
4. Kapan Sunda Kelapa jatuh ke tangan Kesultanan Demak?
Sunda Kelapa direbut oleh Fatahillah, utusan Kesultanan Demak, pada tahun 1527.
5. Apa peran Sunda Kelapa dalam pembentukan Jakarta?
Setelah dikuasai oleh Demak dan berganti nama menjadi Jayakarta, wilayah ini berkembang menjadi kota penting yang kemudian, setelah masa kolonialisme Belanda, menjadi cikal bakal kota Jakarta modern.
Referensi
- Pires, Tomé. Suma Oriental, 1512-1515.
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford University Press.
- Drs. J.L.A. Brandes, Beschrijvingen en Aanteekeningen betreffende de oudheden van Tjandisari, Dieng en de Prambanan-plain.
- Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
- “Sejarah Sunda Kelapa.” Museum Bahari Jakarta.