Masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965) merupakan salah satu periode krusial dalam sejarah politik Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya peran militer dalam pemerintahan. Hubungan Militer dan Politik dalam Masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno yang menganggap sistem Demokrasi Liberal tidak mampu menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, menggantinya dengan sistem yang lebih terpusat di bawah kepemimpinannya. Dalam sistem ini, militer memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.
Artikel ini akan membahas hubungan antara militer dan politik selama masa Demokrasi Terpimpin, termasuk peran militer dalam pemerintahan, dinamika antara militer dan kelompok politik lainnya, serta dampak hubungan ini terhadap kondisi politik nasional.
Latar Belakang Hubungan Militer dan Politik
Setelah kemerdekaan Indonesia, militer mulai berkembang sebagai salah satu kekuatan utama dalam politik nasional. Pada masa Demokrasi Liberal (1950–1959), militer masih berada dalam posisi yang relatif terbatas dalam pemerintahan. Namun, ketika Soekarno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin, peran militer dalam politik semakin meningkat.
Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya peran militer dalam politik pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain:
- Ketidakstabilan politik akibat sistem parlementer, yang membuat pemerintahan sering berganti.
- Ancaman separatisme, seperti pemberontakan PRRI/Permesta yang mengharuskan militer lebih aktif dalam menjaga keutuhan negara.
- Dukungan Soekarno terhadap militer sebagai penyeimbang kekuatan politik, terutama menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI).
- Konflik dengan negara-negara Barat, terutama dalam Konfrontasi Malaysia, yang meningkatkan peran militer dalam kebijakan luar negeri.
Peran Militer dalam Pemerintahan Demokrasi Terpimpin
1. Militer sebagai Alat Politik Soekarno
Dalam sistem Demokrasi Terpimpin, Soekarno berupaya menyeimbangkan kekuatan antara tiga unsur utama, yaitu Nasionalisme (militer), Agama (kelompok Islam), dan Komunisme (PKI) dalam konsep Nasakom. Militer menjadi alat penting bagi Soekarno dalam mempertahankan kekuasaannya dan menekan lawan-lawan politiknya.
Militer mendapatkan berbagai jabatan strategis di pemerintahan, termasuk posisi dalam kabinet dan birokrasi. Para perwira tinggi ditempatkan sebagai gubernur, menteri, dan direktur perusahaan negara, yang semakin memperkuat pengaruh mereka di berbagai sektor.
2. Konflik antara Militer dan PKI
Salah satu dinamika utama dalam hubungan militer dan politik selama Demokrasi Terpimpin adalah konflik antara militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI, yang semakin kuat dengan dukungan Soekarno, sering kali berseberangan dengan militer dalam berbagai kebijakan nasional.
PKI mendorong kebijakan yang lebih condong ke arah sosialisme dan menginginkan pembentukan angkatan bersenjata rakyat yang bisa melemahkan dominasi militer konvensional. Sebagai respons, militer semakin waspada terhadap PKI dan melihatnya sebagai ancaman potensial.
Ketegangan ini mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai konflik terbuka, seperti:
- Insiden pembunuhan terhadap petani yang diduga sebagai simpatisan PKI di berbagai daerah.
- Perdebatan sengit mengenai pengaruh PKI di pemerintahan dan usulan pembentukan “Angkatan Kelima” yang terdiri dari buruh dan petani bersenjata.
- Tuduhan bahwa PKI merencanakan kudeta terhadap militer.
Baca juga: Apa Saja yang Terjadi pada Masa Awal Kemerdekaan?