Bangsa Indonesia banyak menjadi pejabat masa pendudukan Jepang. Sampai bulan Agustus 1942 Jawa tetap berada di bawah struktur pemerintahan sementara, tetapi kemudian dilantik suatu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang gubernur militer (Gunseikan).
Banyak orang Indonesia diangkat untuk mengisi tempat pejabat-pejabat Belanda yang ditawan, tetapi banyak pula pejabat-pejabat berkebangsaan Jepang yang diangkat.
Kebanyakan pejabat-pejabat baru yang berkebangsaan Indonesia itu adalah para mantan guru, dan kepindahan mereka dari sistem pendidikan mengakibatkan mundurnya standar pendidikan secara tajam.
Bangsa Indonesia banyak menjadi pejabat masa pendudukan Jepang, untuk membantu orang Jepang mengatur negeri ini maka di samping para pejabat baru tersebut pihak Jepang di Jawa juga mencari pemimpin politik guna membantu memobilisasikan rakyat. Pertama-tama mereka menghapuskan semua organisasi-organisasi politik dari jaman sebelum Jepang.
Kegiatan Politik di larang
Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan kemudian semua perkumpulan yang ada secara resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru.
Sejak mula pertama Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu).
Pada bulan April 1942 usaha pertama pada suatu gerakan rakyat, “Gerakan Tiga A”, dimulai di Jawa. Nama ini berasal dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.
Pada bulan Juli didirikan suatu subseksi Islam yang dinamakan Persiapan Persatuan Umat Islam di bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso (lahir tahun 1897). Abikoesno untuk sementara dianggap oleh pihak Jepang sebagai pemimpin Islam Indonesia. Akan tetapi, tidak lama, pihak Jepang mulai meragukan pemimpin-pemimpin Islam Modern. Pada umumnya Gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai tujuan.
Para pejabat Indonesia hanya sedikit memberi dukungan, tidak ada seorang nasionalis Indonesia yang terkemuka terlibat di dalamnya, bahkan pada masa-masa awal pendudukanpun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius.
Mobilisasi tokoh-tokoh nasionalis oleh Jepang
Pihak Jepang mulai menyadari bahwa apabila mereka akan memobilisasi rakyat Jawa maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis sebelum perang.
Sjahrir dan Hatta telah dipulangkan ke Jawa oleh pihak Belanda tidak lama sebelum penyerangan Jepang. Kedua tokoh ini menentang fasisme dan telah menawarkan dukungan mereka kepada pihak Belanda.
Baca juga Pangeran Dipenogoro melakukan perlawanan terhadap VOC
Hatta dan Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang. Hatta akan bekerja sama dengan pihak Jepang, berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka, dan memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Sjahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan ”bawah tanah” yang didukung oleh mantan anggota PNI-Baru, dan akan berusaha menjalin hubungan dengan pihak Sekutu.