Kapitalisme Berkembang, Kaum Borjuis Mengalami Kebangkrutan
Kapitalisme Berkembang, Kaum Borjuis Mengalami Kebangkrutan. Kemunculan kapitalisme monopoli ini menggiring pada pemisahan pemilikan modal dengan fungsi manajerial yang dijalankan pihak lain. Sejumlah sosiolog borjuis beranggapan bahwa “kelas manajer” telah mengambil kekuasaan dan kontrol terhadap perusahaan-perusahaan ini dari kaum kapitalis.
Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa persoalan pemilikan sudah tidak relevan lagi. Akan tetapi dugaan-dugaan ini tidaklah mencerminkan situasi yang sesungguhnya.
Borjuis Monopolis
Pertama, kaum borjuis monopolis menjalankan kekuasaannya dengan cara terlibat langsung dalam mengatur bank dan perusahaan industri mereka. Para anggota keluarga-keluarga kaya kemudian duduk dalam jajaran direktur perusahaan industri dan perdagangan serta perbankan.
Di samping itu, mereka mempromosikan kerabat mereka untuk menduduki posisi-posisi yang menentukan dalam administrasi perusahaan. Kedua, para manajer top dari perusahaan-perusahaan dan perbankan besar (para eksekutif bisnis, pegawai-pegawai eksekutif papan atas) walau tidak direkrut dari kalangan keluarga kaya, mereka kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran borjuasi mereka.
Sementara itu, presiden, wakil presiden, CEO dan eksekutif-eksekutif top perusahaan adalah pegawai-pegawai yang gaji serta bonusnya jauh melebihi dari nilai pasar kinerja mereka. Dengan demikian merekapun memainkan peran khusus dalam partisipasi mereka merampas nilai lebih yang diciptakan dari kerja orang lain.
Gaji dan bonus yang diperoleh memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modal/kapital termasuk juga melalui pembelian saham (yang dalam banyak kasus menjadi bagian dari “paket gaji” yang mereka terima).
Sementara itu, jumlah pekerja upahan yang berhadap-hadapan dengan modal tumbuh semakin besar dalam dua abad terakhir. Barisan mereka telah berlipat ganda karena mereka dibanjiri oleh para mantan borjuis kecil di kota dan desa yang tersisih dari bisnisnya.
Kebangkrutan Borjuis
Semakin kapitalisme berkembang, maka semakin terkoyaklah jajaran borjuis kecil. Sementara itu, sebagian besar dari mereka mengalami kebangkrutan dan ada yang berubah menjadi pemilik alat-alat produksi kecil yang tergantung secara ekonomi, atau menjadi semiproletar dan proletariat.
Ini merupakan proses rutin yang melandaskan dirinya pada laju perkembangan produksi berskala besar yang melampaui produksi berskala kecil, sebagaimana yang diprediksikan oleh Marx dalam hukum konsentrasi dan sentralisasi kapital.
Kapitalisme monopoli juga menghancurkan kelas menengah ”lama” yang terdiri dari petani-petani kecil, para pemilik toko, pengusaha kecil, dan kaum proifesional mandiri (dokter, pengacara, guru, dan sebagainya).
Mereka terlempar dari kelasnya untuk menambah jumlah barisan proletariat. Sementara itu, pada saat bersamaan, kapitalisme monopoli menghasilkan kelas menengah ”baru” yang bekerja secara langsung untuk melayani kepentingan kapitalisme monopoli.
Mereka ini terdiri dari para teknisi, ahli pemasaran, manajer, ahli keuangan, ahli kesehatan dan para pengacara yang menempati posisi penyangga antara borjuasi dan proletariat. Akan tetapi, untuk jangka waktu lama, kapitalisme monopoli cenderung akan memproletarkan posisi-posisi tadi dengan cara memperdagangkan kerja mereka dan dengan menghancurkan monopoli mereka atas ketrampilan yang mereka miliki.
Upah Barisan Buruh
Barisan buruh upahan ini dibebaskan dari setiap pemilikan alat-alat produksi yang terdapat di negeri kapitalis maju dimana mayoritas penduduknya (lebih dari 75 %) merupakan lapisan masyarakat yang aktif secara ekonomis. Dalam skala dunia para pekerja upahan ini berjumlah milyaran.
Baca juga Struktur Sosial dan Hubungan Sosial Didalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat
Kaum borjuis sering beranggapan bahwa dengan adanya perkembangan sistem produksi yang semi-otomatis dan dengan adanya pemanfaatan teknologi komputer berskala luas, maka proletariat ditakdirkan akan melenyap.
Alasannya, Pertama, demikian kata mereka, karena terjadinya penurunan jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan industri produksi barang, sementara di pihak lain semakin banyak orang yang bekerja di sektor jasa, dan alasan kedua, adalah peningkatan kerja-kerja non manual (meningkatnya jumlah pekerja “kerah putih” secara umum).