Lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dan kontroversial dalam perjalanan bangsa Indonesia. Keputusan ini terjadi di masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie) yang menjabat selama periode transisi reformasi, pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
Meski menuai pro dan kontra, langkah Habibie membuka jalan bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia dan hubungan luar negeri. Artikel ini membahas secara komprehensif latar belakang, proses, hingga dampak keputusan tersebut bagi Indonesia dan Timor Timur.
Latar Belakang Integrasi Timor Timur ke Indonesia
Timor Timur, bekas koloni Portugal, mengalami gejolak politik setelah Portugal menarik diri pada 1975. Dalam kekosongan kekuasaan, terjadi perang saudara antara kelompok pro-kemerdekaan (FRETILIN) dan kelompok pro-integrasi (APODETI, UDT).
Indonesia kemudian melakukan Operasi Seroja pada Desember 1975 untuk menginvasi Timor Timur dengan alasan mencegah penyebaran komunisme di kawasan. Pada tahun 1976, Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia, meskipun tidak semua negara di dunia mengakui langkah ini, termasuk PBB dan Portugal.
Selama masa integrasi, terjadi konflik bersenjata dan pelanggaran HAM yang menimbulkan tekanan internasional terhadap Indonesia, terutama dari negara-negara Barat dan organisasi hak asasi manusia.
Reformasi dan Perubahan Sikap Pemerintah Indonesia
Setelah tumbangnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, pemerintahan beralih ke B.J. Habibie. Dalam semangat Reformasi 1998, Habibie membuka ruang demokrasi, termasuk mengkaji kembali persoalan Timor Timur yang telah lama menjadi sorotan dunia.
Berbeda dengan pendahulunya, Habibie menilai bahwa mempertahankan wilayah yang terus-menerus menuntut kemerdekaan dan menguras sumber daya negara tidak selaras dengan prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi yang ia usung.
Desakan datang dari berbagai pihak:
- Portugal dan PBB: Mendesak penyelesaian diplomatik terhadap status Timor Timur.
- Australia: Mendorong pendekatan referendum sebagai solusi damai.
- Masyarakat Internasional: Menginginkan penghormatan terhadap hak menentukan nasib sendiri (self-determination).
Keputusan Referendum oleh B.J. Habibie
Pada Januari 1999, secara mengejutkan, Presiden B.J. Habibie mengumumkan bahwa Indonesia siap memberikan dua opsi kepada rakyat Timor Timur:
- Otonomi khusus dalam NKRI, atau
- Kemerdekaan penuh dari Indonesia.
Keputusan ini disampaikan kepada Sekjen PBB dan Portugal dan kemudian disepakati dalam perjanjian 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal, dan PBB, yang menyepakati pelaksanaan jajak pendapat (referendum) di bawah pengawasan PBB.
Langkah ini mengundang kritik keras dari berbagai kalangan di dalam negeri, termasuk TNI dan beberapa partai politik. Namun, Habibie tetap pada pendiriannya bahwa keutuhan wilayah tidak boleh dipaksakan tanpa keinginan rakyat.
Baca juga: Kebijakan Politik dalam Era Demokrasi Terpimpin: Antara Stabilitas dan Otoritarianisme
Proses dan Hasil Referendum Timor Timur
Referendum Timor Timur dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 oleh United Nations Mission in East Timor (UNAMET). Hasilnya:
- 78,5% memilih menolak otonomi dan ingin merdeka.
- 21,5% memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia dengan otonomi khusus.
Setelah hasil diumumkan pada 4 September 1999, terjadi kerusuhan besar yang dipicu oleh kelompok milisi pro-integrasi, dengan dukungan sebagian aparat bersenjata. Kekerasan ini menyebabkan ribuan orang mengungsi, infrastruktur hancur, dan korban jiwa berjatuhan.
PBB kemudian membentuk pasukan penjaga perdamaian (INTERFET) yang dipimpin Australia untuk memulihkan keamanan. Indonesia secara resmi mengakui hasil referendum pada Oktober 1999, dan Timor Timur berada di bawah administrasi PBB hingga kemerdekaannya pada 20 Mei 2002 sebagai negara Timor-Leste.
Dampak Bagi Indonesia
1. Politik dan Hubungan Luar Negeri
Lepasnya Timor Timur memengaruhi reputasi Indonesia secara global. Meski di satu sisi menuai pujian atas komitmen demokrasi, di sisi lain Indonesia dikritik keras atas kerusuhan yang terjadi setelah referendum.
Namun, hubungan diplomatik Indonesia-Timor Leste berangsur membaik, bahkan menjadi mitra kerja sama yang erat di kawasan ASEAN.
2. Militer dan Keamanan
TNI mendapatkan kritik tajam karena diduga terlibat dalam kekerasan pascareferendum. Beberapa jenderal diperiksa atau diberi sanksi, meskipun sebagian besar tidak dibawa ke pengadilan internasional. Ini mendorong reformasi internal di tubuh TNI, termasuk penghapusan dwi fungsi ABRI.
3. Identitas Nasional dan Wacana Otonomi
Lepasnya Timor Timur mendorong Indonesia untuk meninjau ulang pendekatan terhadap daerah-daerah lain, khususnya Papua dan Aceh. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan otonomi khusus sebagai alternatif tuntutan kemerdekaan.
Perspektif Habibie: Keputusan yang Sulit tapi Bermartabat
Dalam berbagai wawancara dan tulisan, B.J. Habibie mengungkapkan bahwa keputusannya memberi referendum kepada Timor Timur dilandasi oleh logika moral dan politik. Ia tak ingin Indonesia mempertahankan wilayah melalui kekerasan.
“Indonesia tidak membutuhkan provinsi yang dipertahankan dengan darah dan kekuatan militer.” – B.J. Habibie
Ia percaya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati pilihan rakyatnya, termasuk jika rakyat memilih untuk berpisah.
Kesimpulan
Lepasnya Timor Timur dari Indonesia adalah peristiwa yang penuh kontroversi, emosi, dan pengaruh politik besar, baik di dalam negeri maupun internasional. Namun, keputusan berani Presiden B.J. Habibie membuka jalan bagi penyelesaian damai atas konflik panjang yang telah menelan banyak korban.
Habibie mungkin dikritik karena dianggap “melepaskan” bagian dari NKRI, tetapi dalam jangka panjang, langkah tersebut menjadi titik balik penting dalam sejarah demokrasi dan diplomasi Indonesia. Ia menempatkan hak asasi manusia dan demokrasi di atas ambisi teritorial, sebuah sikap negarawan sejati yang dikenang hingga kini.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Mengapa B.J. Habibie memberikan opsi referendum kepada Timor Timur?
Karena ia percaya bahwa wilayah yang terus menuntut kemerdekaan sebaiknya diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri, sesuai dengan semangat reformasi dan demokrasi.
2. Apakah Timor Timur benar-benar bagian sah dari Indonesia sebelum merdeka?
Secara de facto, Timor Timur adalah provinsi ke-27 Indonesia sejak 1976, tetapi secara internasional, statusnya tidak diakui oleh banyak negara dan masih dianggap sebagai wilayah sengketa.
3. Bagaimana reaksi dalam negeri terhadap keputusan Habibie?
Banyak pihak menentang, termasuk militer dan elit politik, tetapi sebagian masyarakat sipil dan pengamat hak asasi manusia mendukung langkah demokratis tersebut.
4. Apa dampak dari kerusuhan setelah referendum?
Kerusuhan menyebabkan kehancuran infrastruktur, ribuan pengungsi, dan intervensi pasukan PBB. Hal ini juga memengaruhi hubungan internasional Indonesia secara negatif untuk sementara waktu.
5. Apakah hubungan Indonesia dan Timor Leste saat ini baik?
Ya. Saat ini hubungan kedua negara cukup erat dan stabil, dengan kerja sama di bidang ekonomi, sosial, dan keamanan.
Referensi:
- Komnas HAM – Laporan Kasus Pelanggaran HAM Timor Timur
- United Nations (UNAMET) – Referendum in East Timor Report, 1999
- Buku Habibie dan Timor Timur: Kesaksian dari Balik Istana
- BBC Indonesia – “Bagaimana Habibie Mengambil Keputusan Referendum”
- The Jakarta Post – “Habibie’s Legacy in East Timor Issue”