Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia, memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari tiga dekade. Salah satu kunci keberlangsungan kekuasaannya yang panjang adalah hubungan erat dengan Golongan Karya atau Golkar. Golkar tidak hanya menjadi partai dominan dalam pemilu, tetapi juga alat politik yang efektif untuk mengontrol pemerintahan, masyarakat, dan militer selama Orde Baru. Bagaimana Soeharto dan Golkar menjadi mesih politik yang mengukuhkan kekuasaan?
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Soeharto membangun Golkar sebagai mesin politik, bagaimana struktur kekuasaan dijalankan melalui Golkar, serta warisan dan dampaknya terhadap demokrasi Indonesia.
Latar Belakang Munculnya Golkar
Golkar bukanlah partai politik konvensional saat pertama kali dibentuk. Ia berasal dari sejumlah organisasi fungsional seperti serikat pekerja, guru, dan pegawai negeri yang kemudian diformalkan menjadi kekuatan politik untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kekuatan politik lainnya pada masa awal Orde Baru.
Pada tahun 1964, atas inisiatif tentara, lahirlah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, Sekber Golkar menjadi alat penting militer untuk mengonsolidasikan dukungan politik. Di bawah kendali Soeharto, Golkar berubah menjadi kendaraan utama untuk mempertahankan kekuasaan eksekutif.
Transformasi Golkar Menjadi Mesin Kekuasaan
1. Dukungan dari Militer
Soeharto menggunakan posisinya sebagai pemimpin ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) untuk memastikan bahwa seluruh elemen militer berada di belakang Golkar. Melalui kebijakan Dwi Fungsi ABRI, militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga terlibat aktif dalam urusan politik dan pemerintahan. Perwira militer ditempatkan dalam posisi strategis, termasuk di pemerintahan daerah dan pusat.
2. Mobilisasi Aparatur Sipil Negara
Birokrasi pemerintahan dijadikan alat politik oleh Soeharto melalui Golkar. Pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan mendukung Golkar dalam setiap pemilu. Bahkan, dukungan kepada partai lain bisa berujung pada sanksi administratif atau pemecatan.
Program-program pembangunan disosialisasikan melalui kegiatan Golkar, membuatnya tampak sebagai satu-satunya saluran pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Ini menciptakan persepsi bahwa mendukung Golkar sama dengan mendukung stabilitas dan kemajuan.
3. Pengendalian Proses Pemilu
Selama era Orde Baru, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun. Namun, prosesnya sangat terkendali. Tiga kontestan saja yang diizinkan: Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sementara dua partai terakhir dibatasi pergerakannya, Golkar mendapat akses luas terhadap dana, media, dan jaringan birokrasi.
Hasilnya pun selalu konsisten: Golkar memenangkan lebih dari 60% suara dalam setiap pemilu sejak 1971 hingga 1997. Kemenangan ini menjadi legitimasi politik Soeharto sebagai Presiden.
Kultur Politik Orde Baru: Dominasi Tanpa Kompetisi
Monopoli Politik dan Pembungkaman Oposisi
Di bawah kendali Soeharto, tidak ada ruang nyata bagi oposisi. Media dikontrol, aktivis dikriminalisasi, dan organisasi masyarakat yang kritis diawasi ketat. Golkar tidak hanya menjadi partai pemerintah, tetapi simbol loyalitas terhadap negara dan presiden.
Para elite politik didorong untuk bergabung ke Golkar jika ingin mempertahankan atau meraih posisi kekuasaan. Ini menciptakan budaya patronase politik yang kuat, di mana kedekatan dengan Golkar berarti akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.
Peran Golkar dalam DPR dan Pemerintahan
Dengan dominasi mutlak di DPR, Golkar mendukung semua kebijakan Soeharto tanpa kritik berarti. Peran legislatif menjadi formalitas belaka, dan keputusan politik besar sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif dan militer.
Kritik terhadap Golkar dan Soeharto
1. Tidak Demokratis
Pemilu yang dikendalikan, oposisi yang dilemahkan, dan dominasi birokrasi membuat sistem politik selama Orde Baru jauh dari prinsip demokrasi. Golkar menjadi alat untuk mempertahankan status quo, bukan sebagai wahana artikulasi rakyat.
2. KKN dan Patronase Politik
Banyak pejabat Golkar terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri dan kelompok tertentu. Proyek-proyek negara diberikan kepada kroni atau keluarga dekat, termasuk anak-anak Soeharto.
3. Kehilangan Identitas Politik
Karena lebih menekankan stabilitas daripada ideologi, Golkar cenderung pragmatis. Partai ini kehilangan arah setelah Soeharto lengser, karena tidak punya basis massa ideologis yang kuat.
Baca juga: Militer dan Kekuasaan dalam Orde Baru: Peran ABRI di Pemerintahan
Reformasi 1998: Akhir dari Dominasi Golkar
Gerakan Reformasi 1998 menandai akhir dari kekuasaan Soeharto dan dominasi politik Golkar. Rakyat menuntut pemilu yang bebas, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, dan reformasi total terhadap sistem politik.
Setelah Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, posisi Golkar pun digoyang. Banyak elite Golkar berpindah haluan atau mendirikan partai baru. Namun, Golkar berhasil bertahan sebagai partai besar, bahkan sempat memenangkan Pemilu 2004 dan menjadi bagian dari berbagai pemerintahan pasca-reformasi.
Warisan Golkar dalam Politik Indonesia
Golkar tetap menjadi partai penting dalam peta politik Indonesia. Meskipun citranya sebagai “partai penguasa” Orde Baru masih melekat, Golkar berhasil melakukan rebranding sebagai partai tengah yang pragmatis.
Namun, warisan negatif seperti budaya patronase dan politik transaksional masih sering dikaitkan dengan Golkar, bahkan di era demokrasi.
Kesimpulan
Soeharto dan Golkar adalah dua entitas yang tak terpisahkan dalam sejarah politik Indonesia. Golkar menjadi mesin politik yang efektif bagi Soeharto untuk membangun dan mempertahankan kekuasaannya. Dengan kontrol terhadap militer, birokrasi, dan proses politik, Golkar menjelma menjadi simbol kekuasaan Orde Baru.
Meskipun dominasi itu akhirnya runtuh pada 1998, pengaruh struktur politik Orde Baru masih terasa dalam dinamika politik Indonesia hingga hari ini. Memahami relasi Soeharto dan Golkar adalah langkah penting untuk menganalisis demokrasi Indonesia secara kritis.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa itu Golkar?
Golkar adalah singkatan dari Golongan Karya, awalnya dibentuk sebagai organisasi fungsional dan kemudian menjadi partai politik dominan di bawah Soeharto.
2. Mengapa Golkar begitu kuat di masa Orde Baru?
Karena mendapat dukungan penuh dari militer dan birokrasi, serta didukung oleh sistem politik yang tidak demokratis dan dikendalikan dari pusat.
3. Apakah Golkar masih eksis setelah Soeharto jatuh?
Ya, Golkar masih menjadi salah satu partai besar di Indonesia dan berpartisipasi dalam berbagai pemilu pasca-reformasi.
4. Apa kritik utama terhadap Golkar di masa Soeharto?
Kritiknya mencakup keterlibatan dalam praktik KKN, pembungkaman oposisi, dan pemanfaatan negara untuk kepentingan politik.
5. Bagaimana posisi Golkar dalam politik Indonesia saat ini?
Golkar saat ini merupakan partai tengah yang sering berkoalisi dengan partai besar lainnya dan tetap menjadi pemain penting dalam politik nasional.
Referensi
- Kompas.com – https://www.kompas.com/tag/golkar
- Historia.id – https://www.historia.id/politik/articles/golkar-dan-kuasa-orde-baru
- Tirto.id – https://www.tirto.id/tag/golkar
- Tempo.co – https://www.tempo.co/tag/golkar
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, Jakarta: Serambi, 2008.
- Liddle, R. William. Leadership and Power in Indonesia: Soeharto and the New Order, Routledge.