Presiden Soekarno dikenal sebagai tokoh karismatik, orator ulung, dan pemimpin besar revolusi Indonesia. Namun, salah satu warisan pemikiran politik yang tak kalah penting adalah gagasan Revolusi Mental—sebuah konsep yang ia canangkan sebagai landasan untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan berkepribadian. Bagaimana peran Soekarno dan Revolusi Mental: Gagasan Besar untuk Indonesia?
Revolusi Mental bukan sekadar slogan atau retorika politik. Di baliknya tersimpan visi mendalam tentang bagaimana bangsa ini seharusnya melepaskan diri dari warisan kolonialisme, membangun sistem sosial yang adil, dan menata kembali mentalitas rakyat Indonesia agar sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia.
Latar Belakang Gagasan Revolusi Mental
Gagasan Revolusi Mental muncul dalam konteks pasca-kemerdekaan Indonesia yang sedang berjuang menata ulang tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Soekarno menyadari bahwa kemerdekaan politik tidak otomatis membawa perubahan mentalitas. Masyarakat Indonesia masih terkungkung dalam pola pikir feodal, individualis, dan kolonial.
Dalam pidato-pidatonya, Soekarno sering menekankan bahwa revolusi Indonesia belum selesai. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanyalah permulaan. Untuk menjadi bangsa besar, Indonesia harus melakukan “revolusi di dalam revolusi”, yaitu mengubah cara berpikir dan bertindak rakyatnya—itulah yang ia sebut Revolusi Mental.
Apa Itu Revolusi Mental Menurut Soekarno?
Revolusi Mental, menurut Soekarno, adalah perubahan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat Indonesia agar sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan revolusi. Bukan hanya perubahan sistem, tetapi transformasi batin bangsa.
Soekarno menguraikan tiga aspek penting dalam Revolusi Mental:
- Mental Merdeka
Rakyat harus terbebas dari mental inlander atau budak. Mental merdeka berarti percaya diri sebagai bangsa, berani berpikir kritis, dan siap membangun masa depan tanpa ketergantungan. - Mental Gotong Royong
Bukan individualisme yang dikedepankan, melainkan kolektivisme, solidaritas, dan semangat untuk membangun bersama. Gotong royong adalah dasar etika sosial bangsa. - Mental Berdikari (Berdiri di atas Kaki Sendiri)
Revolusi Mental mendorong bangsa Indonesia agar tidak bergantung pada bantuan asing, melainkan mampu mengembangkan potensi sendiri dalam ekonomi, politik, dan budaya.
Revolusi Mental dan Pembangunan Nasional
Bagi Soekarno, pembangunan fisik seperti infrastruktur, industri, dan militer tidak akan berhasil jika rakyatnya masih terbelenggu mental kolonial. Maka Revolusi Mental menjadi fondasi pembangunan nasional.
Dalam pidatonya pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Soekarno berkata:
“Revolusi kita belum selesai. Kita belum menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Kita belum mempunyai mental merdeka. Kita masih harus berjuang melakukan Revolusi Mental!”
Gagasan ini juga tercermin dalam rancang bangun negara yang Soekarno impikan, seperti Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Semuanya berpijak pada perubahan cara berpikir rakyat Indonesia.
Implementasi Gagasan Revolusi Mental
Meski Revolusi Mental tidak pernah menjadi program formal tersendiri seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), gagasan ini tertanam dalam berbagai kebijakan era Soekarno, antara lain:
- Penekanan pada pendidikan nasionalisme melalui pelajaran Sejarah, Ilmu Kewarganegaraan, dan Penataran Pancasila.
- Penguatan budaya nasional, seperti pembangunan Taman Mini, Monumen Nasional, dan dukungan terhadap seni-seni tradisional.
- Mobilisasi rakyat dalam gerakan kolektif seperti gotong royong, penanaman pangan, dan pembangunan desa.
Sayangnya, ketegangan politik yang meningkat sejak awal 1960-an serta konflik ideologi antara militer dan PKI membuat gagasan Revolusi Mental tidak berkembang optimal.
Baca juga: Orde Baru: Sejarah, Kebijakan, dan Warisannya bagi Indonesia
Revolusi Mental dalam Konteks Modern
Setelah era Soekarno berakhir, wacana Revolusi Mental sempat tenggelam. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep ini kembali diangkat. Pada 2014, Jokowi bahkan menjadikan “Revolusi Mental” sebagai salah satu program prioritas nasional.
Meski pendekatannya lebih teknokratis—berfokus pada reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan integritas aparatur negara—semangat dasarnya tidak jauh berbeda dengan visi Soekarno: membentuk manusia Indonesia yang berintegritas, produktif, dan memiliki semangat kebangsaan tinggi.
Relevansi Revolusi Mental Hari Ini
Gagasan Soekarno tentang Revolusi Mental tetap relevan untuk menjawab tantangan bangsa saat ini, seperti:
- Korupsi dan lemahnya integritas di berbagai lini pemerintahan dan sektor swasta.
- Krisis identitas nasional di tengah globalisasi dan budaya pop asing.
- Kesenjangan sosial dan hilangnya semangat gotong royong di masyarakat.
Revolusi Mental mengajarkan bahwa membangun bangsa tidak cukup hanya dengan teknologi dan dana, tetapi harus dimulai dari perubahan cara berpikir dan karakter setiap warganya.
Kesimpulan
Revolusi Mental adalah salah satu warisan pemikiran Soekarno yang sangat visioner. Melalui gagasan ini, ia tidak hanya ingin membangun negara secara fisik, tetapi juga memerdekakan cara berpikir rakyatnya. Soekarno menyadari bahwa mentalitas kolonial adalah warisan paling berbahaya, karena menciptakan masyarakat yang pasif, tidak percaya diri, dan mudah dipecah belah.
Dengan Revolusi Mental, Soekarno ingin menciptakan manusia Indonesia baru: yang merdeka secara berpikir, bekerja sama dengan semangat gotong royong, dan berdiri tegak sebagai bangsa yang bermartabat. Gagasan ini patut dihidupkan kembali sebagai fondasi membangun Indonesia masa depan yang lebih adil, maju, dan berkepribadian nasional.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa yang dimaksud dengan Revolusi Mental menurut Soekarno?
Revolusi Mental adalah upaya mengubah cara berpikir, bersikap, dan bertindak masyarakat Indonesia agar bebas dari warisan kolonialisme dan memiliki mental yang merdeka, gotong royong, dan berdikari.
2. Mengapa Revolusi Mental penting bagi pembangunan bangsa?
Karena pembangunan yang hanya berfokus pada aspek fisik tidak akan berhasil tanpa perubahan mentalitas rakyat. Mental yang kuat dan sehat adalah dasar keberhasilan pembangunan nasional.
3. Apakah Revolusi Mental masih relevan saat ini?
Sangat relevan. Dalam menghadapi tantangan seperti korupsi, krisis identitas, dan individualisme, semangat Revolusi Mental dapat menjadi pedoman membentuk karakter bangsa yang tangguh.
4. Apa perbedaan Revolusi Mental ala Soekarno dan Jokowi?
Soekarno lebih menekankan aspek ideologis dan nasionalisme, sedangkan Jokowi lebih menitikberatkan pada reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama: membentuk manusia Indonesia yang unggul.
5. Bagaimana cara menerapkan Revolusi Mental dalam kehidupan sehari-hari?
Dengan menumbuhkan semangat gotong royong, kejujuran, disiplin, nasionalisme, dan produktivitas dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Referensi
- Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I & II.
- Pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1956: “Revolusi Belum Selesai”
- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP): https://bpip.go.id
- Kementerian Koordinator PMK RI: https://kemenkopmk.go.id
- Perpusnas RI: https://www.perpusnas.go.id
- Indonesia.go.id: https://www.indonesia.go.id