Sejarah

Presiden Soeharto Mengumumkan Pengunduran Diri Pada 21 Mei 1998

Presiden Soeharto Mengumumkan Pengunduran Dirinya Pada 21 Mei 1998, Soeharto memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, akhirnya diberhentikan oleh lembaga yang sama lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998. 

Oleh Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa pimpinan Dewan baik ketua (Harmoko) maupun wakil-wakil ketua. 

Mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Indonesia. 

Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. 

Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti monopoli, dan UU Anti korupsi. 

Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikut sertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. 

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. 

Silahkan saudara saksikan video di bawah ini mengenai pidato mundurnya Soeharto

Pidato pengunduran diri tersebut menandakan berakhirnya era orde baru yang dipimpin oleh Soeharto dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 

Reformasi Indonesia Pada Tahun 1998 

Telah mendorong munculnya berbagai macam perubahan dalam sistem ketatanegaraan, yang merupakan dampak dari adanya Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945(UUD’45) Presiden pasca reformasi. 

Salah satu hasil dari perubahan dimaksud adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi memposisikan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. 

Perkembangan konsep triaspolitica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan karena dianggap tidak lagi relevan mengingat fakta bahwa tiga fungsi kekuasaan yang selama ini ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. 

Hal ini kemudian mendorong negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing- masing tugas dan wewenangnya. 

Sejak era reformasi tahun 1998 dicanangkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR )telah mengeluarkan dua Ketetapan MPR yaitu TAP MPR Nomor XI/MPR/Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Baca juga Sidang MPRS Tahun 1968 Menetapkan Suharto Sebagai Presiden

Dilanjutkan dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Secara khusus, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Tujuan dari Undang-Undang ini yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN melalui penerapan prinsip kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button