Indonesia dikenal sebagai negeri dengan keindahan alam yang luar biasa — dari pegunungan, pantai, hingga hutan tropis. Namun, di balik keindahan tersebut, Indonesia juga dijuluki sebagai “laboratorium bencana alam dunia”. Sebutan ini bukan tanpa alasan. Secara geografis, Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang menjadikannya sangat rentan terhadap berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor. Bagaimana Peta Risiko Bencana Alam di Indonesia: Wilayah Paling Rawan?
Untuk memahami potensi bencana tersebut, peta risiko bencana alam sangat penting sebagai alat perencanaan mitigasi dan kesiapsiagaan. Artikel ini membahas bagaimana peta risiko disusun, wilayah paling rawan di Indonesia, serta contoh nyata bencana besar yang pernah terjadi.
Apa Itu Peta Risiko Bencana Alam?
Peta risiko bencana alam adalah representasi visual yang menunjukkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap ancaman alam tertentu. Peta ini dibuat berdasarkan kombinasi dari tiga komponen utama:
- Bahaya (hazard) — jenis ancaman seperti gempa, banjir, atau letusan gunung.
- Kerentanan (vulnerability) — kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur yang menentukan seberapa besar dampak yang mungkin terjadi.
- Kapasitas (capacity) — kemampuan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi dan memulihkan diri dari bencana.
Peta ini menjadi acuan penting bagi pemerintah daerah, BNPB, dan masyarakat untuk merencanakan tata ruang, pembangunan, serta kesiapsiagaan bencana.
Wilayah-Wilayah Paling Rawan Bencana di Indonesia
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BMKG, berikut adalah beberapa wilayah dengan tingkat risiko bencana alam tertinggi di Indonesia:
1. Pulau Sumatra – Rawan Gempa dan Tsunami
Sumatra merupakan wilayah yang sangat aktif secara tektonik karena terletak di sepanjang Zona Subduksi Sunda. Beberapa wilayah seperti Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, dan Lampung kerap mengalami gempa besar dan tsunami.
- Contoh nyata: Gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 adalah salah satu bencana paling dahsyat dalam sejarah modern, dengan kekuatan 9,1 SR dan menewaskan lebih dari 230.000 jiwa di berbagai negara.
2. Pulau Jawa – Rawan Letusan Gunung Api, Longsor, dan Banjir
Jawa memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia dan banyak gunung berapi aktif seperti Merapi, Semeru, dan Kelud. Selain itu, curah hujan tinggi membuat daerah perbukitan rawan longsor.
- Contoh nyata: Letusan Gunung Semeru (Desember 2021) menyebabkan korban jiwa dan kerusakan besar di Lumajang, Jawa Timur.
- Contoh lain: Longsor di Banjarnegara (2014) menelan lebih dari 90 korban jiwa.
3. Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) – Rawan Kekeringan dan Badai Tropis
Kedua wilayah ini memiliki curah hujan rendah dan sering dilanda kekeringan ekstrem. Selain itu, daerah ini rentan terhadap badai tropis dari Samudra Hindia.
- Contoh nyata: Badai Tropis Seroja (2021) menyebabkan banjir bandang besar di NTT, merusak ribuan rumah dan menewaskan lebih dari 160 orang.
4. Sulawesi – Rawan Gempa dan Tsunami
Pulau Sulawesi dilalui oleh sesar aktif seperti Sesar Palu-Koro. Aktivitas tektonik tinggi membuat wilayah ini berisiko mengalami gempa besar dan tsunami.
- Contoh nyata: Gempa dan tsunami Palu (2018) dengan magnitudo 7,4 SR menyebabkan lebih dari 4.000 korban jiwa dan likuefaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota.
5. Kalimantan – Rawan Banjir dan Kabut Asap
Meskipun tidak berada di zona tektonik aktif, Kalimantan sering menghadapi bencana ekologis akibat deforestasi dan perubahan tata guna lahan.
- Contoh nyata: Banjir besar di Kalimantan Selatan (2021) menenggelamkan ribuan rumah dan memutus akses jalan utama.
6. Papua dan Maluku – Rawan Gempa dan Tsunami
Wilayah timur Indonesia memiliki banyak sesar aktif bawah laut. Selain itu, kondisi topografi yang curam juga menyebabkan potensi longsor tinggi.
- Contoh nyata: Gempa Maluku (2019) berkekuatan 6,5 SR menyebabkan ratusan rumah roboh dan puluhan korban jiwa.
Faktor Penyebab Tingginya Risiko Bencana di Indonesia
Beberapa faktor utama penyebab tingginya risiko bencana di Indonesia antara lain:
- Letak Geologis dan Tektonik
Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng dunia yang terus bergerak dan menimbulkan aktivitas gempa, gunung api, serta tsunami. - Kondisi Iklim Tropis
Curah hujan tinggi sepanjang tahun meningkatkan risiko banjir dan longsor, terutama di daerah pegunungan dan perkotaan. - Degradasi Lingkungan
Deforestasi, alih fungsi lahan, dan urbanisasi yang tidak terencana memperburuk dampak bencana hidrometeorologis. - Pertumbuhan Penduduk yang Cepat
Banyak pemukiman dibangun di daerah rawan bencana seperti lereng gunung dan bantaran sungai karena keterbatasan lahan. - Kurangnya Kesadaran dan Kesiapsiagaan Masyarakat
Masih banyak masyarakat yang belum memahami tanda-tanda alam atau prosedur evakuasi saat bencana terjadi.
Baca juga: Palapa Ring dan Perkembangan UMKM Digital
Peran Peta Risiko dalam Mitigasi Bencana
Peta risiko bencana memiliki berbagai fungsi penting, di antaranya:
- Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar pembangunan tidak dilakukan di zona merah bencana.
- Identifikasi prioritas daerah rawan untuk program mitigasi dan penanggulangan.
- Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan kebencanaan berbasis peta.
- Dukungan keputusan pemerintah daerah dalam penentuan lokasi evakuasi dan tempat penampungan.
BNPB telah mengembangkan InaRISK, yaitu platform digital interaktif yang menampilkan peta risiko bencana nasional berbasis data geospasial. Melalui situs ini, masyarakat dapat memeriksa tingkat risiko bencana di daerah masing-masing.
Contoh Nyata: Pemanfaatan Peta Risiko dalam Tindakan Nyata
Salah satu contoh penerapan peta risiko bencana adalah di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pemerintah daerah menggunakan peta bahaya letusan Gunung Merapi untuk menentukan zona aman dan jalur evakuasi. Hasilnya, saat erupsi besar pada 2010, ribuan warga berhasil dievakuasi tepat waktu, sehingga jumlah korban jiwa bisa diminimalkan.
Contoh lain adalah di Kota Semarang, di mana peta risiko banjir digunakan untuk perencanaan sistem drainase dan pembangunan tanggul laut, yang membantu mengurangi dampak rob dan banjir musiman.
