Home » Sejarah » Organisasi politik bentukan Jepang muncul di jawa
Organisasi politik bentukan Jepang muncul di jawa

Organisasi politik bentukan Jepang muncul di jawa

Organisasi politik bentukan Jepang muncul di jawa. Pada bulan Maret 1943 organisasi politik yang dijanjikan juga muncul di Jawa dan Gerakan Tiga A dihapuskan. Badan baru itu dinamakan Putera, singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat.

Badan ini berada di bawah pengawasan ketat pihak Jepang, empat orang Indonesia yang terkemuka diangkat sebagai ketuanya: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansur, ketua Muhammadiyah dari masa sebelum perang.

Organisasi baru ternyata hanya mendapat sedikit dukungan, dikarenakan pihak Jepang tetap tidak bersedia memberi kebebasan kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang begitu potensial; misalnya, pihak Jepang tidak memberi Putera kekuasaan atas gerakan-gerakan pemuda.

Jepang mencoba mengembangkan para guru Islam tradisional pedesaan sebagai mata rantai utama mereka dengan rakyat Jawa. Jepang banyak mengalami kesulitan dengan para pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum Islam modern di kota-kota.

Umat Islam menolak membungkuk kea rah timur sebagai penghormatan kepada kaisar

Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk ke arah timur sebagai penghormatan kepada kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan kewajiban seorang muslim untuk sholat menghadap kiblat.

Akhirnya, pihak Jepang sepakat tentang tidak perlunya membungkukkan badan kepada kaisar pada upacara-upacara keagamaan. Jepang juga menginginkan agar Perang Dunia II dinyatakan sebagai Perang Sabil, yang dengan tegas ditolak oleh kaum muslim karena orang-orang Jepang, seperti halnya Sekutu adalah kaum kafir.

Jepang juga harus melupakan keinginan mereka melarang pemakaian bahasa Arab, tetapi dengan syarat bahwa bahasa Jepang juga diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan kurikulum pihak Jepang bagi mata pelajaran non-agama diterima.

Pihak Jepang tetap mempertahankan Peraturan Guru (goeroe ordonnantie) tahun 1925 dan para pejabat Indonesia bahkan melaksanakannya secara lebih keras, baik dikarenakan perlawanan mereka terhadap kaum elite Islam maupun rasa takut akan tindakan-tindakan disipliner pihak Jepang apabila mereka tampak terlalu lunak.

Kyai dan guru didoktrin dengan propaganda Jepang

Pada 1943 pihak Jepang membawa sekitar 60 kyai yang tinggal di pedesaan ke Jakarta untuk mengikuti kursus latihan selama kurang lebih sebulan. Sampai bulan Mei 1945 lebih dari 1.000 orang kyai telah menyelesaikan kursus tersebut, di mana mereka mendengarkan beberapa ceramah tentang masalah-masalah agama tetapi terutama diindoktrinasi dengan propaganda Jepang.

Untuk merangsang dukungan terhadap usaha perang yang memburuk, maka Jepang mulai menjanjikan keterlibatan beberapa orang Indonesia dalam urusan-urusan pemerintahan di Jawa.

Organisasi politik bentukan Jepang, Jumlah orang Indonesia yang menjadi penasihat (sanyo) pemerintahan Jepang bertambah banyak, di Jakarta dibentuk Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Sukarno, dan dibentuk dewan-dewan daerah (Shu Sangi-kai). Akan tetapi, kesemuanya itu bersifat penasihat belaka.

Baca juga Perlawanan di Bali terhadap Praktek Imperialisme

Sukarno, Hatta, dan ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo terbang ke Tokyo pada bulan November 1943 untuk diberi tanda jasa oleh kaisar. Inilah saat pertama kali Sukarno berada di luar negeri atau melihat sebuah negara industri.

Gambar 79a. Sukarno, Hatta, dan ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo terbang ke Tokyo pada bulan November 1943 untuk diberi tanda jasa oleh kaisar (ilustrasi foto/Tribun Jambi)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top