IPS Kelas 10Sejarah

Organisasi Kepanduan dan Peranan Wanita dalam pergerakan nasional ikut berkembang setelah perang dunia 1

Organisasi Kepanduan dan Peranan Wanita dalam pergerakan nasional ikut berkembang setelah perang dunia 1. Selain organisasi pemuda yang sifatnya politis, lahir pula organiasi kepanduan. Kegiatannya difokuskan pada olah raga dengan anggotanya sebagian besar dari kalangan murid-murid sekolah, baik sekolah pribumi maupun Belanda.

Salah satu organisasi kepanduan adalah Ned Indische Badvinders Vereeniging (NIPV). Organisasi ini merupakan kepanduan campuran pertama yang didirikan pada 1917. Organisasi kepanduan Indonesia yang pertama adalah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) didirikan di Solo (1916) oleh Mangkunegoro VII.

Setelah 1920, organisasi kepanduan berkembang sejalan dengan berkembangnya semangat nasionalisme dan patriotisme. Dalam organisasi politikpun terdapat organisasi kepanduan, seperti Sarekat Islam Afdeling Pandu, Hizbul Wathon, dan Nationale Islamitische Padvinderij.

Pada 1938, didirikan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduaan untuk menampung organisasi-organisasi kepanduan yang sudah ada. Organisasi tersebut pada Februari 1941 mengadakan perkemahan bersama.

Gerakan Wanita

Organisasi Kepanduan dan Peranan Wanita dalam pergerakan nasional Indonesia tidak hanya di bidang politik melainkan juga sosial dan wanita. Salah seorang tokoh wanita yang menyuarakan pentingnya emansipasi antara pria dan wanita adalah RA. Kartini.

Dia kemudian dinggap sebagai pelopor gerakan emansipasi yang dalam tulisan-tulisannya menuntut agar wanita Indonesia diberi pendidikan karena mereka memikul tugas sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya.

Buku Kartini yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku yang berisi kumpulan surat-surat Kartini tentang berbagai buah pikirannya. Buku ini ditulis oleh Abendanon pada 1899. Isinya antara lain tentang posisi wanita dalam keluarga, adat istiadat, dan keterbelakangan wanita.

Karena senang membaca dan bergaul dengan berbagai kalangan, Kartini memiliki padangan yang positif tentang betapa pentingnya memajukan kaum wanita. Dengan belajar sungguh-sungguh, dia berpendapat bahwa memajukan kaumnya dan menolak konservatisme adalah sangat penting.

Demikian juga adat yang mengharuskan wanita hanya tinggal di dalam rumah harus dirombak. Kartini meminta agar rakyat Indonesia diberi pendidikan karena pendidikan merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia.

Pendidikan tersebut bukan hanya untuk laki-laki, tapi juga kaum wanita. Pendidikan yang diperoleh itu selain untuk mengasah intelegensi, juga untuk membangun sopan santun dan kesusilaan. Kunci kemajuan wanita menurut Kartini adalah kombinasi antara kebudayaan Barat dan Timur.

Perkumpulan atau organisasi wanita masa pergerakan

Perkumpulan atau organisasi wanita yang muncul di masa pergerakan diantaranya adalah Putri Mardika (1912) yang bertujuan memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan memberikan penerangan dan bantuan dana.

Demikian pula dengan sekolah Kaoetamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika di Bandung pada 1904. Sekolah Kartini juga didirikan di Jakarta pada 1913, di Madiun, Malang dan Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya, dan Rembang.

Selanjutnya, pada 1920 mulai muncul perkumpulan wanita yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan. Di Minahasa, berdiri De Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwen Vereeniging. Di Yogyakarta lahir perkumpulan Wanita Utomo yang mulai memasukan perempuan ke dalam kegiatan dasar pekerjaan.

Kongres perempuan di Yogyakarta

Corak kebangsaan sudah mulai mempengaruhi pergerakan wanita sejak 1920, hal ini ditandai dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 1928.

Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi wanita, di antaranya Ny. Sukamto (Wanito Utomo), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa bagian wanita), dan Nona Suyatin (Pemuda Indonesia bagian keputrian).

Tujuan kongres Perempuan Indonesia adalah untuk mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan di antara per kumpulan wanita ter sebut. Dalam rapat itu dibicarakan soal nasib wanita dalam perkawinan dan poligami.

Dalam kongres itu pada umumnya disepakati untuk memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan yang berhaluan kooperatif. Hasil kongres yang terpenting adalah dibentuknya federasi perkumpulan wanita, bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Kongres Perempuan Indonesia II

Membicarakan tentang masalah perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf, dan perkawinan. Dalam konggres tersebut, pergerakan wanita Indonesia mendapat perhatian dari Komite Perempuan Sedunia yang berkedudukan di Paris.

Kongres Perempuan III berlangsung 1938, menyetujui suatu rencana undang-undang perkawinan modern, membicarakan masalah politik, antara lain hak pilih dan dipilih bagi kaum wanita untuk Badan Perwakilan.

Baca juga Perhimpunan Indonesia adalah salah satu organisasi pergerakan nasional yang berdiri di negeri Belanda

Selain itu, kongres memutuskan pada 22 Desember menjadi Hari Ibu, dengan menyatakan bahwa peringatan Hari Ibu tiap tahun diharapkan akan menambah kesadaran kaum wanita Indonesia akan kewajibannya sebagai Ibu Bangsa.

Gambar 105a. Kongres Perempuan III, memutuskan pada tanggal 22 Desember menjadi Hari Ibu (ilustrasi foto/ArahFajar)

Membaca Artikel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button