IPS Kelas 10Sejarah

Memasuki abad ke-20 sejarah imperialisme di Indonesia

ADVERTISEMENT

Memasuki abad ke-20 sejarah imperialisme di Indonesia, ditandai dengan semakin banyaknya orang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Mereka bekerja di sektor pemerintahan sebagai pangreh praja serta pegawai swasta. Kelompok terpelajar tersebut telah mampu meningkatkan status sosialnya dari yang berkedudukan rendah menjadi lebih baik.

Dengan demikian, pendidikan mengakibatkan mereka mengalami mobilitas sosial secara vertikal yang ditandai dengan status baru serta kedudukan baru dalam berbagai profesi. Kelompok tersebut dinamakan sebagai homines novi atau orang-orang baru yang lahir karena pendidikan.

Mereka merupakan kelompok pertama dalam masyarakat Indonesia yang pada awal abad ke-20 memiliki kesadaran nasional dan kemudian menjadi pelopor pergerakan nasional.

Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih rendah dibandingkan dengan kedudukan pria. Kondisi ini diperkuat oleh struktur sosial masyarakat feodal di Jawa yang menempatkan perempuan berada di bawah posisi laki-laki. Hukum adat yang menempatkan perempuan dalam posisi itu dibiarkan oleh pemeriantah kolonial karena kondisi itu tidak merugikan pemerintah kolonial.

Adat poligami

Salah satu adat yang berkembang pada saat itu adalah poligami. Tradisi tersebut tidak hanya berkembang pada masyarakat kelas bawah tetapi juga di kalangan golongan bangsawan. Fenomena ini dijelaskan Siti Soemandari (1986:16):

Banyak dari kalangan bangsawan Jawa yang awalnya menikah dengan perempuan kebanyakan, pada saat akan mendapatkan kenaikan pangkat akan menikah dengan perempuan dari derajat yang sama untuk mendapatkan anak dari golongan itu.

Hal ini berarti bahwa prestise mendapatkan tempat yang tinggi pada masa itu. Gelar-gelar kebangsawanan yang didapatkan menunjukkan beruratakarnya feodalisme dalam komunitas rakyat Jawa.

Ini membuktikan bahwa banyaknya permaduan dalam masyarakat bangsawan sudah menjadi “tradisi feodal”, maka tidak dapat diharapkan dalam jangka waktu yang pendek memperbaiki struktur itu.

Pada abad ke-19 tradisi pembelengguan perempuan masih cukup kuat. Tradisi ini tidak beranjak dari tradisi lama dalam masyarakat feodal. Karena tradisi tersebut, perempuan tidak memiliki kebebasan ke luar rumah.

Tradisi pingitan

Pingitan ini tentu saja akan memutuskan komunikasi antara kaum perempuan dengan dunia di sekelilingnya. Gerak langkah perempuan untuk mengembangkan dirinya menjadi sangat terbatas.

Mengenai pingitan, Kartini menjelaskan bahwa penjaraku adalah rumah besar, dengan dikelilingi halaman yang luas tetapi sekitar halaman itu terdapat pagar tembok yang tinggi.

Menyangkut hubungan dengan orang tua, menutur adat, gadis-gadis yang menjelang dewasa, tidak diperbolehkan bergaul rapat dengan ayah ibunya. Mereka juga harus menghormati, tunduk dan patuh kepada ayah-ibunya dan saudarasaudaranya yang lebih tua (Tashadi, 1985).

Memasuki abad ke-20 sejarah imperialisme di Indonesia, tradisi pingitan tersebut lebih menonjol pada anak gadis dari golongan bangsawan atau priyayi. Sedangkan bagi anak-anak gadis kebanyakan, mereka sedikit masih memiliki kebebasan. Namun demikian, keadaan buruk tetap menimpa perempuan dari semua golongan seperti kawin paksa, kawin anak-anak, poligami dan sebagainya.

Gambar 69a. Pingitan memutuskan komunikasi antara kaum perempuan dengan dunia di sekelilingnya. (ilustrasi foto/Harapan Rakyat)

Perkawinan dini

Perkawinan anak-anak, poligami sistem perseliran dan perceraian merupakan kesengsaraan bagi kaum perempuan, karena dampaknya adalah mengkondisikan mereka terjerumus ke arah prostitusi (Wiriaatmadja, 1985).

Hal ini diperburuk lagi dengan terpuruknya ekonomi pada saat itu yang memaksa kaum perempuan mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya khususnya mereka yang tinggal di dekat perkebunan-perkebunan.

Setelah dibukanya daerah perkebunan berdasar sistem ekonomi kapitalis, kegiatan prostitusi di tempat itu makin marak. Prostitusi sengaja diciptakan oleh pemilik perkebunan untuk menanggulangi keresahan sosial di kalangan pekerja perkebunan.

Baca juga Jawa membara melawan imprealisme dan kolonialisme VOC

Seperti kasus di Sumatera, pekerja-pekerja perempuan yang didatangkan dari Jawa yang seharusnya bekerja di kebun, ternyata dipekerjakan sebagai pemenuh nafsu biologis para rekan prianya, kuli perkebunan (Slamet Suseno, 1991).

Penderitaan yang berat yang dialami kaum perempuan di perkebunan semakin diperkuat oleh diberlakukannya peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Peraturan tersebut adalah Poenale Sanctie, yaitu suatu peraturan yang memberlakukan sanksi yang ketat terhadap kuli-kuli pekerja perkebunan baik itu kaum pria maupun perempuan yang dianggap melanggar jam kerja.

ADVERTISEMENT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button