Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret merupakan salah satu peristiwa paling krusial dalam sejarah Indonesia. Dokumen ini menjadi awal dari peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Untuk memahami makna dan implikasi Supersemar, kita perlu melihat latar belakang Supersemar mulai dari sejarahnya, termasuk krisis politik yang melanda Indonesia pada pertengahan 1960-an.
Krisis Politik di Indonesia Sebelum Supersemar
Pada awal 1960-an, Indonesia berada dalam ketidakstabilan politik yang cukup serius. Beberapa faktor utama yang menyebabkan ketegangan tersebut antara lain:
1. Konfrontasi Ideologi
Pada masa itu, Indonesia terpecah dalam berbagai ideologi, yaitu nasionalisme, komunisme, dan Islam. Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin kuat dan mendapatkan dukungan dari Presiden Soekarno. Di sisi lain, kelompok militer dan partai-partai Islam menolak dominasi PKI dalam politik nasional.
2. Kemerosotan Ekonomi
Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran akibat kebijakan ekonomi yang tidak stabil. Inflasi yang tinggi, kekurangan bahan pokok, dan kebijakan ekonomi yang kurang efektif menyebabkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan elit politik.
3. Gerakan 30 September (G30S)
Pada 30 September 1965, sekelompok perwira militer yang mengklaim sebagai bagian dari Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan PKI, dan militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto mengambil alih kendali keamanan negara.
Setelah peristiwa ini, suasana semakin memanas. Soekarno mengalami tekanan dari berbagai pihak, baik dari pendukung maupun lawan politiknya.
Keadaan Politik pada Maret 1966
Pada awal 1966, ketegangan politik semakin meningkat. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini antara lain:
- Demonstrasi Mahasiswa dan Rakyat Kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) menggelar demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut pembubaran PKI, penurunan harga barang, dan perbaikan ekonomi nasional.
- Dukungan Militer terhadap Soeharto Jenderal Soeharto, yang menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), semakin mendapat dukungan dari militer dan masyarakat sipil. Angkatan Darat melihat Soeharto sebagai pemimpin yang lebih mampu mengendalikan situasi.
- Ketidakmampuan Soekarno Mengatasi Krisis Presiden Soekarno tampak semakin kehilangan kendali atas situasi politik. Kabinet yang dipimpinnya tidak mampu meredam gejolak sosial, sementara pengaruh PKI dalam pemerintahan masih menjadi isu kontroversial.
Penerbitan Supersemar
Pada 11 Maret 1966, situasi semakin genting ketika pasukan bersenjata mengepung Istana Merdeka saat Presiden Soekarno sedang mengadakan rapat kabinet. Menyadari ancaman yang semakin besar, Soekarno kemudian berangkat ke Istana Bogor.
Di sana, ia bertemu dengan tiga jenderal, yaitu Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Yusuf, dan Jenderal Amirmachmud. Mereka membawa surat yang dikenal sebagai Supersemar, yang intinya memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga ketertiban dan stabilitas negara.