Kesultanan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar dan paling berpengaruh di Asia Tenggara pada abad ke-16 hingga ke-17. Terletak di ujung utara Pulau Sumatra, kesultanan ini tidak hanya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, tetapi juga tampil sebagai kekuatan maritim yang tangguh dalam menghadapi imperialisme Eropa, khususnya Portugis dan Belanda.
Kejayaan Kesultanan Aceh tercermin dalam kekuatan militernya, kemajuan pendidikannya, diplomasi internasional yang canggih, serta peranannya dalam menjaga kedaulatan wilayah dari ancaman kolonial. Sejarah Aceh menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan pusat peradaban Islam yang berpengaruh di dunia Melayu.
Asal Usul dan Berdirinya Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh berdiri sekitar tahun 1511 M, setelah jatuhnya Kesultanan Samudera Pasai akibat serangan Portugis. Sultan pertama Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada tahun 1514. Di bawah kepemimpinannya, Aceh mulai menegaskan diri sebagai kekuatan baru di wilayah barat Nusantara.
Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, tekstil, dan barang-barang mewah lainnya. Kesultanan ini dengan cepat tumbuh menjadi pelabuhan internasional yang ramai, menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa dan Asia seperti Turki Utsmani, Arab, Gujarat, dan Cina.
Peran Islam dan Pendidikan di Aceh
Sebagai kesultanan Islam, Aceh dikenal sebagai pusat dakwah dan ilmu pengetahuan. Para ulama dari berbagai wilayah datang untuk mengajar dan belajar di sini. Beberapa tokoh penting yang berperan dalam perkembangan intelektual Aceh antara lain:
- Syekh Abdurrauf as-Singkili: Ulama sufi dan penulis tafsir Alquran pertama dalam bahasa Melayu.
- Nuruddin ar-Raniri: Cendekiawan besar yang mengembangkan pemikiran Islam dan menulis berbagai karya keislaman.
- Hamzah Fansuri: Sastrawan sufi yang terkenal dengan karya-karya puisi spiritualnya.
Keberadaan madrasah, masjid, dan istana sebagai pusat ilmu menjadikan Aceh sebagai “Serambi Mekkah” — julukan yang melekat karena perannya dalam menghubungkan dunia Melayu dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah.
Kejayaan di Bawah Sultan Iskandar Muda
Puncak kejayaan Kesultanan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani, bijaksana, dan sukses membangun kekuatan militer serta armada laut yang kuat.
Capaian Besar Sultan Iskandar Muda:
- Ekspansi Wilayah: Aceh memperluas kekuasaannya hingga ke Pesisir Barat Sumatra, Johor, Pahang, dan beberapa bagian dari Semenanjung Malaya.
- Perdagangan Internasional: Aceh menjalin hubungan dagang dengan Persia, Turki, India, dan Belanda, menjadikannya pelabuhan dagang penting setelah Malaka.
- Kekuatan Militer: Membangun armada laut yang besar untuk menghadapi ancaman Portugis di Malaka.
- Hukum dan Pemerintahan: Menetapkan undang-undang kerajaan yang disebut Qanun Meukuta Alam sebagai dasar hukum administrasi negara.
Kebijakan Sultan Iskandar Muda menjadikan Aceh tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga maju dalam bidang ekonomi dan budaya.
Perlawanan terhadap Portugis dan Belanda
Aceh memainkan peran penting dalam melawan dominasi Portugis yang menguasai Malaka sejak 1511. Berbagai serangan dilakukan oleh armada laut Aceh untuk merebut Malaka, meskipun tidak berhasil mengusir Portugis sepenuhnya.
Selain itu, Aceh juga berkonflik dengan VOC (Belanda) yang berusaha menguasai jalur perdagangan rempah. Kesultanan Aceh dengan gigih mempertahankan kedaulatan wilayahnya dari campur tangan asing.
Aceh bahkan menjalin aliansi strategis dengan Turki Utsmani, meminta bantuan meriam, teknologi militer, dan tenaga ahli dalam menghadapi kekuatan Eropa. Dukungan ini menunjukkan bahwa Aceh memiliki hubungan diplomatik tingkat tinggi pada masanya.
Baca juga: Tujuan Presiden Soekarno Mengeluarkan Konsep Nasakom
Peran Perempuan dalam Pemerintahan Aceh
Salah satu hal yang unik dari Kesultanan Aceh adalah peran perempuan dalam kepemimpinan kerajaan. Setelah masa Sultan Iskandar Thani (penerus Iskandar Muda), Aceh dipimpin oleh empat sultanah (ratu) secara berturut-turut, yaitu:
- Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah
- Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
- Sultanah Inayat Syah
- Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah
Mereka memimpin dengan bijaksana dan mampu menjaga stabilitas kerajaan, meskipun mulai terjadi intervensi asing dan tantangan internal.
Kemunduran dan Perlawanan Terakhir
Kesultanan Aceh mulai mengalami kemunduran pada abad ke-18 dan ke-19 karena:
- Melemahnya ekonomi akibat perubahan jalur dagang global
- Konflik internal antarpemimpin dan bangsawan
- Tekanan politik dan militer dari Belanda
Pada tahun 1873, Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh yang kemudian dikenal sebagai Perang Aceh. Perang ini berlangsung sangat lama, yaitu hingga 1904, dan menjadi salah satu perang kolonial paling panjang dalam sejarah Indonesia.
Tokoh-tokoh perlawanan seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Polim muncul sebagai pahlawan yang dikenang hingga kini atas keberanian dan pengorbanannya mempertahankan kemerdekaan Aceh.
Warisan dan Pengaruh Kesultanan Aceh
Meskipun akhirnya tunduk di bawah kekuasaan kolonial Belanda, Kesultanan Aceh meninggalkan warisan yang sangat kaya:
- Sistem pemerintahan Islam berbasis hukum syariah
- Karya-karya ulama dan sastra sufi dalam bahasa Melayu
- Arsitektur masjid dan istana yang megah
- Semangat perlawanan dan nasionalisme
- Pengaruh budaya yang masih terasa kuat di Aceh hingga saat ini
Kesimpulan
Kesultanan Aceh merupakan contoh nyata kekuatan maritim Islam yang bukan hanya tangguh dalam bidang militer dan ekonomi, tetapi juga unggul dalam diplomasi, pendidikan, dan budaya. Keberanian dalam menghadapi bangsa kolonial seperti Portugis dan Belanda menunjukkan betapa pentingnya Aceh dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Sebagai pusat peradaban Islam dan pelabuhan perdagangan internasional, Kesultanan Aceh memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan identitas keislaman di Nusantara. Warisannya masih terasa hingga kini, menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah dengan akar sejarah dan keagamaan yang kuat.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Siapa pendiri Kesultanan Aceh?
Pendiri Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang naik tahta sekitar tahun 1514 M.
2. Apa yang menyebabkan Aceh berjaya pada masa Sultan Iskandar Muda?
Karena kekuatan militer yang besar, ekspansi wilayah, perdagangan internasional yang maju, dan penerapan sistem hukum serta pemerintahan yang efektif.
3. Mengapa Aceh berperang dengan Portugis dan Belanda?
Karena Portugis dan Belanda ingin menguasai jalur perdagangan rempah dan memaksakan kekuasaan kolonial atas Aceh yang merupakan pelabuhan strategis di Selat Malaka.
4. Apakah benar Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh perempuan?
Ya, setelah Sultan Iskandar Thani wafat, Aceh dipimpin oleh empat orang ratu (sultanah) secara berturut-turut.
5. Apa peninggalan Kesultanan Aceh yang masih ada hingga sekarang?
Beberapa peninggalan fisik seperti Masjid Raya Baiturrahman, manuskrip keislaman, serta nilai budaya dan hukum adat Aceh yang masih hidup hingga kini.
Referensi
- Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.
- Djajadiningrat, H. (1911). Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten.
- Ali, Mukti. Islam di Asia Tenggara. UII Press.
- https://purbakala.kemdikbud.go.id
- https://acehprov.go.id
- https://www.britannica.com/place/Aceh
- https://www.indonesia.go.id