Kedatangan Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan, yang tidak diikuti istri-istri mereka berpengaruh terhadap kehidupan perempuan pribumi di lingkungan perkebunan. Di daerah tersebut muncul istilah nyai atau pekerja perempuan yang menjadi gundik pria Eropa.
Istilah nyai, atau muncik sesungguhnya muncul beriringan dengan kedatangan Belanda. Pedagang Asia dan Portugis sudah terbiasa memelihara nyai (Linda Crystanty, 1994).
Perempuan yang dijadikan Nyai ini terjadi pada keluarga petani miskin dan priyayi yang ingin mempertahankan kedudukan mereka. Tak jarang dari priyayi tersebut menggundikkan anaknya demi kedudukan mereka.
Melalui nyai, orang Eropa dapat lebih mudah mempelajari kebudayaan pribumi. Mereka pun tidak jarang ikut serta dalam kebiasaaan orang pribumi seperti cara makan, tidur, bergaul dan lain-lain. Perkawinan campuran ini menghasilkan pula perpaduan antara budaya pribumi dan Eropa. Istri mengikuti gaya hidup suami juga sebaliknya.
Perempuan di didik budaya eropa
Istri-istri mereka dibiasakan dalam “budaya modern”, budaya modern Eropa seperti cara berdansa, melayani rekan kerja, dan lain-lain. Mereka dididik dengan keras oleh suaminya dan merekapun menjadi perempuan modern pada zamannya.
Namun demikian posisi mereka tetap rawan, mereka harus siap dicampakkan apabila sudah tidak terpakai lagi ketika suaminya harus kembali ke Eropa. Hal ini memicu mereka untuk berpikir menanggulangi hidupnya, maka mulailah mereka ikut serta dalam perniagan yang diselenggarakan oleh tuan tanahnya.
Dari sudut pandang rakyat, kehidupan nyai yang lebih dominan di lingkungan tuannnya, menyebabkan mereka disejajarkan dengan bangsa tuannya, kebencian rakyat terhadap bangsa kulit putih menyebabkan perempuan pribumi yang menjadi nyai turut pula menanggung kebencian itu, karena dianggap pengkhianat (Linda Cristianty, 1994).
Sepeninggal tuannya, para nyai dihadapkan pada pilihan sulit, apakah harus tinggal di lingkungan bekas suaminya atau kembali kepada kampungnya yang sudah mencap jelek. Ketika agama Nasrani berkembang, posisi para nyai pun mulai mengikuti zaman. Hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga agama kolonial mengeluarkan aturan mengenai hak-hak nyai serta anak-anak yang mereka lahirkan.
Kedatangan Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan. Pada awal abad ke-20 hubungan nyai dan tuan hanya sebagai suka sama suka dan menjadi bisnis tersendiri. Maka para nyai memberontak karena kedudukan mereka menjadi tidak sejajar lagi.
Baca juga Sulawesi melawanan Praktek Imperialisme dan kolonialisme VOC
Dalam perkembangan selanjutnya para nyai menjadi semakin berani, harta dan kemewahan merupakan dambaan mereka yang utama dan bahkan banyak dari mereka yang berani berhubungan dengan lelaki lain.