Hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit merupakan salah satu episode penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Meskipun kedua kerajaan memiliki kekuatan yang signifikan di wilayah masing-masing — Sunda di barat Pulau Jawa dan Majapahit di timur — hubungan keduanya justru dikenang melalui peristiwa tragis yang disebut Perang Bubat. Peristiwa ini bukan hanya mencoreng hubungan diplomatik, tetapi juga meninggalkan luka sejarah yang berbekas hingga berabad-abad. Bagaimana Hubungan Kerajaan Sunda dengan Majapahit?
Dalam artikel Hubungan Kerajaan Sunda dengan Majapahit ini, kita akan membahas latar belakang hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, kronologi Perang Bubat, serta dampak politik, sosial, dan budaya yang ditimbulkannya.
Latar Belakang Hubungan Sunda-Majapahit
Kerajaan Majapahit yang berdiri pada akhir abad ke-13 di bawah Raden Wijaya, berkembang menjadi kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389) dan patih Gajah Mada. Majapahit mengusung visi “Nusantara”, yakni penyatuan seluruh kerajaan di kepulauan Indonesia di bawah kekuasaannya.
Sementara itu, Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor) merupakan kekuatan utama di wilayah Jawa Barat. Dengan pelabuhan penting seperti Sunda Kalapa, kerajaan ini makmur secara ekonomi dan mempertahankan identitas politiknya yang kuat serta cenderung menjaga jarak dari dominasi kerajaan lain, termasuk Majapahit.
Politik Perkawinan
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, ia dikabarkan jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Raja Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Niat Hayam Wuruk untuk memperistri putri Sunda ini disebut dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama, dua naskah sejarah penting dari masa Majapahit.
Namun niat ini justru menjadi awal dari tragedi besar karena adanya kesalahpahaman mengenai status pernikahan tersebut: apakah sebagai pernikahan politik antar kerajaan sejajar, atau sebagai bentuk penaklukan terhadap Sunda.
Kronologi Perang Bubat
Undangan ke Majapahit
Raja Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana, beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka, datang langsung ke Majapahit, tepatnya ke Lapangan Bubat, dengan harapan bahwa pernikahan akan dilakukan secara terhormat antara dua kerajaan yang sederajat.
Namun, Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang ambisius, memiliki pandangan berbeda. Ia ingin agar pernikahan ini menjadi simbol penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sebagai bagian dari upaya mempersatukan Nusantara. Dalam pandangan Gajah Mada, pengiriman putri ke Majapahit berarti bentuk takluk kepada raja Majapahit.
Pertempuran di Bubat
Ketika pihak Sunda menolak pernikahan yang tidak setara dan tanpa penghormatan, ketegangan meningkat. Terjadilah pertempuran di Lapangan Bubat antara pasukan Majapahit dan pengawal dari Sunda. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Bubat ini, seluruh rombongan Kerajaan Sunda, termasuk Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka, tewas.
Menurut cerita, Dyah Pitaloka memilih bunuh diri sebagai bentuk mempertahankan kehormatan keluarganya dan kerajaannya. Peristiwa ini sangat mengguncang dua kerajaan, terutama Sunda yang merasa dikhianati secara politik dan diplomatik.
Dampak Politik dan Sosial Perang Bubat
1. Renggangnya Hubungan Sunda–Majapahit
Setelah peristiwa ini, hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit memburuk secara drastis. Kerajaan Sunda menutup diri dari segala bentuk komunikasi dan kerja sama dengan Majapahit. Bahkan, beberapa catatan menyebutkan bahwa Kerajaan Sunda menolak segala bentuk hubungan pernikahan dengan kerajaan dari wilayah timur (Majapahit dan keturunannya).
2. Kritik terhadap Gajah Mada
Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai arsitek besar kejayaan Majapahit, Perang Bubat menimbulkan kritik besar terhadap dirinya, terutama dari kalangan istana. Peristiwa ini dinilai mencoreng nama baik Majapahit dan mengganggu harmoni antar kerajaan.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Perang Bubat menjadi penyebab utama meredupnya pengaruh Gajah Mada di istana Majapahit, meskipun ia tetap menjabat hingga wafatnya.
3. Trauma Budaya Masyarakat Sunda
Perang Bubat menimbulkan trauma mendalam dalam budaya Sunda. Cerita tentang Dyah Pitaloka menjadi simbol pengorbanan dan kehormatan. Dalam kebudayaan Sunda, peristiwa ini menjadi peringatan akan pentingnya menjaga martabat dan harga diri.
Bahkan hingga masa kini, peristiwa ini sering dijadikan simbol ketegangan antara budaya Sunda dan Jawa, meskipun sudah tidak lagi menjadi isu politik yang aktif.
4. Memudarnya Diplomasi Antar-Kerajaan
Setelah Perang Bubat, Kerajaan Sunda menjadi lebih tertutup dan defensif. Meskipun Majapahit tetap menjadi kerajaan besar, tidak ada lagi usaha diplomatik dari Sunda yang mengarah pada kerja sama strategis. Hal ini berdampak pada politik regional Jawa yang kemudian berubah dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Cirebon.
Interpretasi Sejarah: Fakta atau Mitos?
Sejumlah ahli sejarah menyatakan bahwa kisah Perang Bubat memiliki unsur mitologi dan dramatik yang kuat. Ada kemungkinan bahwa versi yang kita kenal sekarang mengalami pengaruh sastra dan cerita rakyat. Namun, fakta mengenai konfrontasi antara dua kekuatan besar ini tetap diakui secara luas.
Dalam naskah Kidung Sundayana, peristiwa ini diceritakan secara puitis dan menggugah emosi. Sementara Kitab Pararaton dan Negarakertagama cenderung menyajikan narasi politik yang lebih netral dan mengagungkan tokoh-tokoh Majapahit.
Baca juga: Peran VOC dan Hindia Belanda dalam 350 Tahun Kolonialisme di Indonesia
Warisan Perang Bubat dalam Budaya Populer
Peristiwa Perang Bubat menjadi inspirasi dalam berbagai karya seni, sastra, dan pertunjukan:
- Drama dan teater tradisional di Jawa Barat sering mengangkat kisah Dyah Pitaloka dan Prabu Linggabuana.
- Novel dan film sejarah Indonesia juga banyak mengadaptasi tragedi ini, menampilkan konflik antara kekuasaan dan kehormatan.
- Sastra lisan dan tutur rakyat di Jawa Barat tetap mempertahankan cerita ini sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat Sunda.
Rekonsiliasi dan Refleksi Sejarah
Meskipun Perang Bubat adalah peristiwa yang menyedihkan, sejarah tidak seharusnya memecah bangsa. Sebaliknya, ia bisa menjadi cermin untuk merefleksikan pentingnya diplomasi, penghormatan antar budaya, dan penyelesaian konflik secara damai.
Di era modern, hubungan antara masyarakat Sunda dan Jawa sudah terjalin dengan baik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tragedi Bubat kini lebih dilihat sebagai pelajaran sejarah daripada konflik etnis.
Kesimpulan
Perang Bubat menjadi tonggak penting dalam hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit. Dimulai dari niat politik pernikahan, peristiwa ini berakhir menjadi tragedi yang memperburuk hubungan antar kerajaan, memperlemah posisi politik Gajah Mada, dan meninggalkan trauma budaya bagi masyarakat Sunda.
Meski begitu, sejarah ini juga mengajarkan tentang pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan dan martabat bangsa lain. Peristiwa ini bukan sekadar konflik politik, tetapi juga refleksi tentang harga diri, kesetiaan, dan integritas dalam dunia kerajaan kuno.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa itu Perang Bubat?
Perang Bubat adalah peristiwa peperangan yang terjadi di Lapangan Bubat, Majapahit, antara pasukan Majapahit dan rombongan Kerajaan Sunda, akibat kesalahpahaman mengenai pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka.
2. Siapa tokoh utama dalam Perang Bubat?
Tokoh utama dalam peristiwa ini adalah Prabu Maharaja Linggabuana (Raja Sunda), Dyah Pitaloka (putrinya), Hayam Wuruk (Raja Majapahit), dan Gajah Mada (Mahapatih Majapahit).
3. Apa penyebab utama terjadinya Perang Bubat?
Penyebab utamanya adalah perbedaan persepsi antara Majapahit dan Sunda tentang status pernikahan — apakah sebagai penyatuan dua kerajaan sederajat atau bentuk penaklukan.
4. Apa dampak Perang Bubat bagi Kerajaan Sunda?
Kerajaan Sunda menjadi tertutup terhadap kerja sama luar dan menjaga jarak dari kerajaan Jawa, serta menolak pernikahan politik dengan pihak luar selama beberapa generasi.
5. Apakah Perang Bubat benar-benar terjadi?
Mayoritas sejarawan mengakui adanya peristiwa ini berdasarkan naskah sejarah seperti Pararaton dan Kidung Sundayana, meskipun detailnya bisa berbeda tergantung sumber.
Referensi
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
- Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
- Wikipedia Bahasa Indonesia. Perang Bubat
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press, 2008.
- Tim Balai Pelestarian Nilai Budaya. Kidung Sundayana (Terjemahan dan Analisis).
- Negarakertagama dan Pararaton (naskah klasik Jawa Kuno).
Jika Anda tertarik mempelajari lebih lanjut tentang sejarah kerajaan di Nusantara, silakan baca artikel lainnya yang mengulas Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, hingga jejak kerajaan Islam awal di Indonesia.
