Home » Sejarah » Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia
Posted in

Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia

Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia (ft.istimewa)
Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia (ft.istimewa)
sekolahGHAMA

Dalam sejarah Indonesia, hubungan antara negara dan etnis Tionghoa mengalami pasang surut, seringkali diwarnai diskriminasi dan marginalisasi. Pada masa Orde Baru, berbagai kebijakan diskriminatif diberlakukan terhadap warga keturunan Tionghoa, termasuk pembatasan hak politik dan budaya mereka. Namun, semua itu mulai berubah ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai Presiden keempat Indonesia (1999–2001). Salah satu warisan penting Gus Dur adalah penghapusan larangan politik terhadap etnis Tionghoa, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Artikel Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia akan membahas secara mendalam bagaimana kebijakan Gus Dur merevolusi posisi etnis Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Latar Belakang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa

Sejak masa kolonial, etnis Tionghoa seringkali ditempatkan dalam posisi sosial yang ambigu — dianggap sebagai bagian dari perekonomian Indonesia, namun pada saat yang sama sering menjadi target diskriminasi. Puncaknya terjadi pada masa Orde Baru, ketika pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan yang membatasi hak-hak warga keturunan Tionghoa.

Beberapa bentuk diskriminasi tersebut antara lain:

  • Larangan penggunaan nama Tionghoa secara resmi.
  • Pembatasan dalam bidang politik dan jabatan publik.
  • Larangan merayakan Imlek dan tradisi budaya Tionghoa secara terbuka.
  • Pemberlakuan kebijakan khusus seperti SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia).

Kebijakan ini membuat warga keturunan Tionghoa merasa menjadi “warga negara kelas dua” di negeri tempat mereka lahir dan hidup.

Gus Dur: Pembuka Pintu Kebebasan

Ketika Gus Dur naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1999, ia membawa semangat reformasi dan perubahan. Salah satu misinya adalah menghapus diskriminasi berbasis etnis, termasuk terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia.

Langkah-langkah besar yang diambil Gus Dur dalam memperjuangkan kesetaraan bagi etnis Tionghoa meliputi:

1. Mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967

Inpres (Instruksi Presiden) No. 14/1967 merupakan produk hukum era Soeharto yang melarang segala bentuk ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik, termasuk perayaan Imlek, penggunaan tulisan Mandarin, dan kegiatan budaya lainnya.

Pada tahun 2000, Gus Dur secara resmi mencabut Inpres tersebut dan menggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/2000. Melalui keputusan ini, warga keturunan Tionghoa bebas kembali merayakan tradisi budaya mereka secara terbuka dan tanpa rasa takut.

2. Menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional

Langkah monumental lainnya adalah menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Meskipun realisasinya baru secara penuh terjadi di era Presiden Megawati pada 2003, fondasi kebijakan tersebut sudah diletakkan oleh Gus Dur. Tindakan ini memperlihatkan pengakuan resmi negara terhadap tradisi budaya Tionghoa sebagai bagian integral dari kebudayaan Indonesia.

3. Penghapusan SBKRI

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) adalah dokumen yang wajib dimiliki warga keturunan Tionghoa untuk membuktikan status kewarganegaraan mereka — sebuah perlakuan diskriminatif yang tidak diterapkan pada kelompok etnis lain. Gus Dur memerintahkan penghentian penggunaan SBKRI, sehingga seluruh WNI keturunan Tionghoa diperlakukan sama dengan WNI lainnya dalam urusan administrasi.

4. Mendorong Partisipasi Politik Etnis Tionghoa

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, warga keturunan Tionghoa mulai lebih aktif dalam dunia politik. Tidak ada lagi hambatan struktural untuk bergabung dalam partai politik, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, bahkan untuk menduduki posisi publik. Ini adalah transformasi besar setelah puluhan tahun pengucilan politik.

Baca juga: Akhir dari Demokrasi Terpimpin: Supersemar dan Transisi ke Orde Baru

Dampak Kebijakan Gus Dur terhadap Etnis Tionghoa

Kebijakan inklusif Gus Dur membawa dampak signifikan:

  • Peningkatan rasa percaya diri warga keturunan Tionghoa untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional.
  • Meningkatnya keragaman dalam struktur pemerintahan dan lembaga publik.
  • Pengakuan budaya Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Sikap terbuka ini tidak hanya berdampak pada komunitas Tionghoa, tetapi juga memperkokoh semangat pluralisme dalam kehidupan berbangsa.

Tantangan dan Reaksi terhadap Kebijakan Gus Dur

Gus Dur dan Penghapusan Larangan Politik bagi Etnis Tionghoa di Indonesia. Tentu saja, perubahan yang dilakukan Gus Dur tidak diterima dengan mudah oleh semua pihak. Ada kelompok-kelompok yang menilai bahwa langkah-langkah Gus Dur “terlalu cepat” atau “tidak sensitif terhadap realitas politik” saat itu. Sebagian pihak yang masih terjebak dalam pola pikir Orde Baru menunjukkan resistensi terhadap kebijakan pro-pluralisme ini.

Namun demikian, Gus Dur tetap kukuh pada prinsipnya bahwa Indonesia adalah negara untuk semua warganya tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.

Warisan Gus Dur: Indonesia yang Lebih Inklusif

Hingga hari ini, jasa Gus Dur dalam membuka ruang kebebasan bagi etnis Tionghoa tetap dikenang. Perayaan Imlek secara nasional, pelaksanaan ibadah Konghucu secara terbuka, dan keberadaan tokoh-tokoh Tionghoa di panggung politik Indonesia adalah sebagian dari warisan tersebut.

Lebih jauh lagi, tindakan Gus Dur menjadi inspirasi untuk memperjuangkan keadilan bagi kelompok-kelompok minoritas lainnya di Indonesia.


FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

1. Apa kebijakan Gus Dur yang menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa?
Gus Dur mencabut Inpres No. 14/1967, menghapus SBKRI, mengakui perayaan Imlek, dan mendorong partisipasi politik warga keturunan Tionghoa.

2. Apakah Imlek langsung menjadi hari libur nasional pada masa Gus Dur?
Gus Dur membuka jalan untuk pengakuan Imlek, tetapi secara resmi Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

3. Apa itu SBKRI dan mengapa dihentikan?
SBKRI adalah Surat Bukti Kewarganegaraan yang secara diskriminatif hanya diwajibkan untuk WNI keturunan Tionghoa. Gus Dur menghentikannya untuk mewujudkan kesetaraan warga negara.

4. Bagaimana dampak kebijakan Gus Dur terhadap kehidupan sosial warga Tionghoa?
Kebijakan tersebut meningkatkan rasa percaya diri, memperkuat partisipasi politik, dan mengembalikan hak-hak budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

5. Apa tantangan yang dihadapi Gus Dur dalam menerapkan kebijakan ini?
Gus Dur menghadapi resistensi dari kelompok konservatif yang menilai kebijakannya terlalu liberal dan tidak mempertimbangkan sensitivitas politik pasca-Orde Baru.


Referensi

  • Kompas.com – Gus Dur dan Perayaan Imlek
  • CNN Indonesia – Gus Dur dan Etnis Tionghoa
  • Wikipedia – Abdurrahman Wahid
  • Tirto.id – Sejarah SBKRI dan Penghapusannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.