Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia pada periode 1959–1965 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Sistem ini menggantikan Demokrasi Liberal yang dianggap gagal dalam menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam Demokrasi Terpimpin (1959–1965), peran presiden sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan negara. Pemerintahan lebih terpusat, dengan pembatasan terhadap oposisi politik dan kebebasan pers.
Dalam sistem ini, konsep demokrasi tidak sepenuhnya mengacu pada prinsip demokrasi parlementer atau liberal, tetapi lebih menekankan pada “kepemimpinan” yang kuat oleh Presiden sebagai pusat kekuasaan. Demokrasi Terpimpin juga dipengaruhi oleh gagasan nasionalisme, sosialisme Indonesia, dan prinsip gotong royong.
Latar Belakang Demokrasi Terpimpin
Latar belakang munculnya Demokrasi Terpimpin dapat ditelusuri dari berbagai faktor, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial, yang menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal (1950–1959).
1. Kegagalan Demokrasi Liberal
Pada periode Demokrasi Liberal (1950–1959), Indonesia mengalami pergantian kabinet yang sangat sering, menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Partai politik yang ada saling bersaing tanpa adanya kesepakatan yang jelas dalam menentukan arah kebijakan nasional. Akibatnya, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terhambat.
2. Ketidakstabilan Politik
Banyaknya partai politik dengan kepentingan berbeda sering kali menghambat pengambilan keputusan strategis. Persaingan antar partai menciptakan konflik yang berkepanjangan, termasuk pemberontakan di berbagai daerah seperti DI/TII, PRRI/Permesta, dan gerakan separatis lainnya. Kondisi ini membuat pemerintahan pusat semakin sulit menjalankan kebijakan nasional secara efektif.
3. Keadaan Ekonomi yang Memburuk
Ekonomi Indonesia dalam kondisi buruk akibat inflasi tinggi, turunnya produksi dalam negeri, dan defisit anggaran yang semakin besar. Situasi ini diperparah dengan rendahnya investasi dan lemahnya infrastruktur ekonomi. Pemerintah merasa perlu adanya sistem yang lebih terkendali untuk menata kembali perekonomian negara.
4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali menggunakan UUD 1945 sebagai dasar negara. Dekrit ini menjadi tonggak awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam mengatur jalannya pemerintahan.
Ciri-Ciri Demokrasi Terpimpin
Berikut adalah beberapa ciri utama dari Demokrasi Terpimpin yang diterapkan di Indonesia pada periode 1959–1965:
1. Dominasi Kekuasaan Presiden
Dalam sistem ini, Presiden memiliki wewenang yang sangat besar dalam pemerintahan. Soekarno menjadi pemimpin utama yang mengontrol kebijakan negara, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun hubungan luar negeri.
2. Peran Terbatas Partai Politik
Partai politik tidak lagi memiliki kebebasan seperti pada era Demokrasi Liberal. Pemerintah membatasi peran partai politik dengan tujuan menciptakan stabilitas nasional. Partai yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional dapat dibubarkan atau dikontrol ketat oleh pemerintah.
3. Sentralisasi Kekuasaan
Pemerintahan lebih terpusat dengan mengurangi peran parlemen dalam pengambilan keputusan. Keputusan negara lebih banyak ditentukan oleh Presiden dengan dukungan militer dan kelompok politik tertentu.
4. Militer Sebagai Kekuatan Politik
Pada masa Demokrasi Terpimpin, militer memiliki peran politik yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Presiden Soekarno sering mengandalkan kekuatan militer untuk menjaga stabilitas dan mempertahankan kebijakan nasional.
5. Pembatasan Kebebasan Pers
Pers tidak lagi bebas seperti pada era sebelumnya. Media yang dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah dapat ditutup atau dikendalikan oleh negara. Kritik terhadap pemerintah sering kali dibatasi dengan alasan menjaga stabilitas nasional.
Baca juga: Jika Kamu Bisa Mengubah Mindset-mu Tentang Belajar, Bagaimana Cara Berpikirmu Akan Berubah?