Kedatangan bangsa Belanda ke Nusantara pada akhir abad ke-16 mulanya hanya dimotivasi oleh kepentingan dagang. Mereka datang sebagai tamu asing yang ingin membeli rempah-rempah, khususnya dari Maluku, yang saat itu menjadi primadona di pasar Eropa. Namun seiring waktu, posisi “tamu” ini berubah menjadi “penguasa.” Pertanyaannya, bagaimana proses perubahan itu terjadi? Artikel iDari Perdagangan ke Kolonialisme: Bagaimana Belanda Berubah dari Tamu Menjadi Penguasa? akan mengulas perjalanan transformasi Belanda dari pedagang menjadi penguasa kolonial di Indonesia.
Awal Kedatangan Belanda ke Nusantara
Dari Perdagangan ke Kolonialisme: Bagaimana Belanda Berubah dari Tamu Menjadi Penguasa? Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada tahun 1596 melalui ekspedisi Cornelis de Houtman yang mendarat di Banten. Ekspedisi ini menunjukkan bahwa jalur laut ke Asia bisa ditempuh tanpa harus melalui wilayah yang dikuasai Portugis atau Spanyol.
Ekspedisi pertama ini memang tidak terlalu berhasil secara ekonomi, tetapi membuka pintu bagi ekspedisi-ekspedisi berikutnya. Sejak saat itu, kedatangan kapal-kapal dagang Belanda semakin sering, terutama ke daerah penghasil rempah seperti Ambon, Banda, dan Ternate.
Pembentukan VOC: Awal Dominasi Dagang
Pada tahun 1602, Belanda membentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yaitu kongsi dagang yang diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda. VOC memiliki hak untuk berdagang, membuat perjanjian politik, mencetak uang, bahkan mengadakan perang atas nama Belanda.
VOC bukan hanya kongsi dagang biasa, tetapi juga alat politik dan militer Belanda untuk memperluas pengaruh di Asia, terutama Nusantara. VOC mulai memonopoli perdagangan rempah dan membangun benteng-benteng di wilayah strategis.
Monopoli Perdagangan dan Penindasan Ekonomi
VOC menerapkan sistem monopoli dagang yang keras. Rakyat lokal tidak diperbolehkan menjual hasil bumi mereka ke pedagang lain, dan hanya boleh menjual ke VOC dengan harga yang sangat rendah. Akibatnya, ekonomi lokal hancur dan rakyat menderita.
VOC juga tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan monopoli ini. Contohnya adalah peristiwa pembantaian penduduk Pulau Banda pada 1621 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen karena penduduk Banda menjual pala kepada pedagang Inggris.
Politik Adu Domba dan Perjanjian Sepihak
Salah satu strategi VOC adalah menggunakan politik devide et impera (adu domba). VOC memanfaatkan konflik antarkerajaan atau antarkelompok bangsawan lokal untuk memperluas pengaruhnya.
VOC sering membuat perjanjian politik yang berat sebelah, yang memaksa kerajaan lokal tunduk pada aturan VOC. Perjanjian-perjanjian ini memberi VOC hak eksklusif untuk berdagang, mengatur wilayah, bahkan menentukan siapa yang berhak memimpin kerajaan.
Contohnya adalah Perjanjian Bongaya (1667) antara VOC dan Kesultanan Gowa yang secara efektif melemahkan kekuasaan Sultan Hasanuddin di Makassar.
Transformasi Menjadi Penguasa Wilayah
Setelah VOC bubar pada 1799 akibat korupsi dan beban utang yang besar, seluruh aset dan wilayah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu, Belanda secara resmi memerintah Hindia Belanda sebagai koloni.
Perubahan ini menandai transisi dari kekuasaan dagang menjadi kekuasaan administratif dan politik. Belanda membentuk pemerintahan kolonial, menunjuk gubernur jenderal, dan membagi wilayah Nusantara menjadi daerah-daerah administratif.
Penerapan Sistem Tanam Paksa dan Eksploitasi Rakyat
Pada abad ke-19, terutama masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Rakyat dipaksa menanam komoditas ekspor seperti kopi, tebu, nila, dan hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Tujuan sistem ini adalah untuk mengisi kas negara Belanda yang kosong akibat peperangan di Eropa. Namun, sistem ini menyebabkan penderitaan rakyat yang sangat besar, seperti kelaparan di daerah Jawa Tengah.