Bagaimana karakter itu terbentuk? Pernah dilaksanakan penelitian yang disebutkan oleh Lickona (2016: 30-32) tentang orang-orang yang menyelamatkan korban-korban dariperistiwa Holocaust. Hasil penelitian ini memberikan implikasi penting bagi keluarga dan sekolah dalam hal mendidik karakter anak-anak mereka.
Ada dua kelompok, yang satu adalah kumpulan orang-orang yang melakukan penyelamatan dan yang satu lagi tidak. ketika masing-masing ditanya tentang cara orang tua mereka mendidik, keduanya benar2 memberikan jawaban yang berbeda.
Orang-orang yang berada di kelompok penyelamat menggambarkan hubungan keluarga yang selalu mencontohkan dan mengajarkan nilai-nilai kepedulian. Bahwa mereka selalu mendapat motivasi orang tua untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Selain itu, cenderung jarang menghukum dan lebih sering menjelaskan sesuatu. Orang tua mereka akan memberitahu mereka apabila melakukan kesalahan atau telah salah paham.
Sedangkan kelompok non-penyelamat menggambarkan bahwa orang tua mereka cenderung menekankan nilai-nilai ekonomi atau perkara untung rugi dibandingkan masalah moral. selain itu mereka menggambarkan orang tua yang cenderung menggunakan hukuman fisik untuk kedisiplinan dan miskin penjelasan tentang letak kesalahan mereka.
Dari temuan itu, nampaklah bahwa tumbuhnya nilai-nilai karakter sangat bergantung dengan kebiasaan mereka dalam berhubungan dengan orang lain. Apabila mereka terbiasa kosong dari contoh, ajaran, dan kebiasaan tentang nilai-nilai positif, maka mustahil bagi seseorang untuk tumbuh dengan karakter-karakter positif yang diinginkan. Anak yang diajarkan lebih banyak tentang untung rugi, maka ia akan tumbuh dengan penuh perhitungan. Sedangkan mereka yang dominan diajarkan untuk peduli dan berbagi, mereka akan tumbuh sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial.
Konsep sakti pendidikan kita
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional Indonesia, saya jadi ingat konsep sakti pendidikan kita, Ing ngarso sungtulodo, ing madyo mbangun karso, tutwuri handayani. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro sudah memberikan inspirasi singkat dan dalam ini agar para pendidik ketika di depan siswa senantiasa memberikan teladan, di tengah memberikan semangat, dan di belakang terus memberikan dorongan. Penerapan hal ini dalam upaya pendidikan karakter nampaknya akan menjadikan pembiasaan nilai-nilai positif dapat terwujud.
Sebagai guru, kita yang terkumpul dalam instansi pendidikan perlu mengevaluasi, apakah kita semua telah memberikan keteladanan nilai-nilai positif bagi para siswa secara serentak? Apakah sudah memberikan semangat dan motivasi untuk melakukan hal-hal positif, dan apakah kita telah memberikan dorongan agar mereka melakukan hal-hal positif? Ini akan menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk peningkatan kualitas pendidikan karakter.
Baca juga Pendidikan adalah Tameng Masa Depan Cerah Gemilang
Bagaimana karakter itu terbentuk. Suatu ketika seorang guru pernah ditanya oleh muridnya, “Setelah sedemikian bapak bicara tentang kebaikan seperti tadi bapak sampaikan dan menginspirasi kami, saya masih saja melihat ada orang-orang yang tidak menganggap itu penting.” Guru tersebut menjawab, “Mungkin dalam hidup mereka sudah lebih banyak kekecewaan dibanding cinta kasih. Sehingga ketulusan tak mudah dilihatmya sebagai ketulusan.” Murid itu bertanya lagi, “Lalu kita harus bagaimana?” Kemudian dijawab, “Kita hanya perlu terus memberikan nilai kasih sampai nilai itu membayar semua kekecewaannya.”
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2018
Salam Inspirasi Pendidikan
PUSTAKA
Lickona, Thomas. 2016. Character Matters, Persoalan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.