Home » Sejarah » Isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar): Fakta dan Kontroversi
Isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar): Fakta dan Kontroversi (ft/istimewa)

Isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar): Fakta dan Kontroversi

Surat Perintah 11 Maret 1966, atau yang lebih dikenal dengan Supersemar, merupakan salah satu dokumen paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Surat ini menjadi tonggak peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto dan menandai awal era Orde Baru. Namun, hingga kini, isi asli Isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) masih menjadi perdebatan karena dokumen aslinya tidak ditemukan. Artikel ini akan membahas isi Supersemar berdasarkan berbagai sumber, fakta-fakta di balik penerbitannya, serta kontroversi yang menyelimutinya.

Latar Belakang Supersemar

Supersemar dikeluarkan dalam situasi politik yang penuh ketegangan. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi yang serius. Soekarno berada dalam tekanan besar dari berbagai pihak, termasuk militer dan kelompok anti-komunis. Demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa dan masyarakat semakin menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pemulihan stabilitas nasional.

Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana Negara. Namun, situasi menjadi tegang ketika sejumlah pasukan tak dikenal mengepung Istana. Dalam kondisi ini, tiga jenderal utusan Jenderal Soeharto—Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amirmachmud—datang ke Istana Bogor untuk meminta surat perintah kepada Soekarno. Hasilnya, lahirlah Supersemar yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan guna memulihkan keamanan dan ketertiban negara.

Isi Supersemar

Meskipun teks asli Supersemar tidak ditemukan, beberapa versi isi surat ini beredar di berbagai dokumen sejarah. Berikut adalah salah satu versi isi Supersemar yang sering dikutip:

“Memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk, atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan stabilitas pemerintahan serta jalannya revolusi.
  2. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi.
  3. Menjalankan segala sesuatu untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan serta jalannya revolusi.”

Dengan surat ini, Soeharto mendapatkan legitimasi untuk mengambil tindakan terhadap PKI dan pihak-pihak yang dianggap mengancam stabilitas nasional.

Baca juga: Perjanjian Linggarjati (15 November 1946): Sejarah, Isi, dan Dampaknya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top