Home » Sejarah » Penyimpangan Politik Luar Negeri Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Penyimpangan Politik Luar Negeri Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Penyimpangan Politik Luar Negeri Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Penyimpangan Politik Luar Negeri Pada Masa Demokrasi Terpimpin, peristiwa–peristiwa yang dapat diidentifikasikan sebagai penyimpangan politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin adalah: 

  1. Adanya poros Jakarta–Peking 
  2. Indonesia keluar dari keanggotaan PBB atas desakan PKI 
  3. Timbulnya gagasan NEFO (New Emerging Forces) sebagai tandingan kekuatan negara-negara Barat (Old Established Forces). 
  4. Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora). 

Konferensi Meja Bundar 

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949 telah disepakati tentang pengakuan atas kedaulatan RI oleh Belanda kecuali wilayah Irian Barat. Irian Barat akan dibicarakan satu tahun setelah KMB sebagai upaya kompromi antara kedua belah pihak. 

Namun lebih dari sepuluh tahun dari kesepakatan KMB Belanda menolak menyerahkan Irian Barat. Sebaliknya, Belanda memperkuat kedudukannya secara militer dan politik di wilayah tersebut. 

Para pemimpin RI dan TNI menyimpulkan bahwa Belanda mengingkari hasil KMB sehingga pada tanggal 8 Mei 1956 Pemerintah RI memutuskan secara sepihak untuk membatalkan perjanjian KMB.  

Pemerintah membawa masalah ini ke forum PBB namun ketika dalam Sidang Umum PBB ke-12 tahun 1957 yang salah satu agendanya membahas Irian Barat, kembali Indonesia gagal. 

Kegagalan jalur diplomasi tersebut menyebabkan Indonesia mengambil jalan radikal atau jalur konfrontasi. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengambil-alih perusahaan dan aset-aset milik Belanda di Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda. 

Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961 

Masalah Irian Barat dibahas kembali. Sekretaris Jenderal PBB U Thant (Myanmar) mengajukan usul kepada diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker agar mengajukan proposal penyelesaian Irian yaitu Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun. 

Usulan tersebut pada prinsipnya diterima pemerintah Indonesia sementara Belanda menolaknya. Belanda berencana melepaskan Irian Barat dengan membentuk Dewan Perwalian dibawah PBB dan kemudian membentuk Negara Papua Merdeka. 

Sikap Belanda tersebut langsung disambut semangat konfrontasi dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dalam pidato rapat raksasa di Yogyakarta tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengeluarkan suatu komando untuk pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan Trikora (Tri Komando rakyat), yang berisi sebagai berikut: 

  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda 
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia 
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa 
Penyimpangan Politik Luar Negeri Pada Masa Demokrasi Terpimpin (foto/istimewa)

Disusun Komando Mandala Siaga (Kolaga) untuk merebut Irian Barat yang dipimpin oleh Panglima Kostrad, Mayjen Suharto yang merupakan gabungan antar angkatan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Panglima Tertinggi RI. 

Operasi yang dilakukan KOLAGA dimulai dengan operasi pendahuluan yang bersifat pengintaian dan sandiyudha. Dalam operasi pendahuluan tersebut terjadi pertempuran di Laut Arafura antara satuan TNI–AL dengan pasukan Belanda yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso. 

Situasi yang menuju pada perang besar memaksa pemerintah Belanda melakukan kebijakan diplomasi kembali dengan Indonesia. 

Pemerintah Belanda juga mendapat tekanan dari negara–negara Blok Barat agar berunding dengan Indonesia, untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik. 

Perjanjian New York 

Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani perjanjian antara Indonesia– Belanda di New York sehingga disebut Perjanjian New York. 

Perjanjian ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang diusulkan Ellswort Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah dalam konflik Indonesia-Belanda mengenai masalah Irian Barat (Notosusanto, 1977: 115). 

Untuk penyerahan administrasi di Irian Barat dari pemerintah Belanda kepada PBB dibentuklah UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia sebelum 1 Mei 1963. 

Baca juga Perlawanan terhadap Penjajahan Jepang dilakukan dengan Dua Cara

Indonesia menerima kewajiban untuk melaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) sebelum akhir tahun 1969. Pada tanggal 31 Mei 1963 pemerintah RI menerima Irian Barat yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan Pepera. 

Akhirnya konflik Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat berakhir dengan pemulihan hubungan diplomatik pada tahun 1963. 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top