Beberapa isi penting Kesepakatan Tuntang yang menandai berakhirnya kekuasan Belanda, Sistem sewa tanah pada masa penjajahan (1811-1830), Kesepakatan Tuntang antara lain sebagai berikut.
- Seluruh kekuatan militer dan kekuasaan Belanda diserahkan kepada Inggris.
- Utang pemerintah Belanda tidak menjadi tanggung jawab Inggris.
Setelah Inggris menguasai Indonesia, Gubernur Jenderal Lord Minto kemudian membagi daerah jajahan Hindia Belanda menjadi empat gubernement, yaitu Malaka, Sumatra, Jawa, dan Maluku.
Selanjutnya, Lord Minto menyerahkan tanggung jawab kekuasaan kepada Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles. Raffles adalah seorang humanis. Pandangan dan pemikirannya mirip Daendels yang berhaluan liberal.
Kebijakan Liberalisasi
Kebijakan liberalisasi yang diterapkan meliputi kebebasan melakukan perdagangan, menanam, memproduksi, impor, dan ekspor. Kebijakan ekonomi yang terkenal adalah diterapkannya Landelijk Stelsel (Sistem Sewa Tanah) atau Landrent System. Isi penting Sistem Sewa Tanah adalah sebagai berikut.
- Penyerahan wajib dan rodi dihapuskan dan rakyat diberikan kebebasan memilih tanaman pertanian dan perkebunan.
- Tanah adalah milik pemerintah, sedangkan rakyat wajib membayar pajak tanah.
- Peran bupati difokuskan pada upaya kesejahteraan rakyat, sedangkan sistem sewa langsung dilakukan pegawai pemerintah.
Sistem Sewa Tanah
Pada kenyataannya, sistem sewa tanah tidak dapat dilaksanakan sesuai keinginan Raffles. Penyebabnya, antara lain sebagai berikut.
- Pemerintah tidak konsisten menghapuskan tanam paksa yang memberikan keuntungan sangat besar.
- Sulitnya mencari pegawai cakap seperti di Eropa yang sanggup melaksanakan aturan sewa tanah.
- Sangat singkatnya masa pemerintahan Raffles.
- Situasi bangsa Indonesia dalam masa feodal yang menyebabkan kebijakan liberal sulit diterapkan.
Dalam perang koalisi di Eropa, Prancis akhirnya kalah. Perang koalisi berakhir dengan diadakannya Kongres Wina. Kongres menetapkan pengambilan batas negara Eropa seperti sebelum penaklukan Napoleon Bonaparte.
Pada 1814, Raja Willem V Inggris mengadakan konvensi yang menyatakan bahwa Inggris mengembalikan kekuasaan yang sempat diambil dalam perjanjian Tuntang, Salatiga Jawa Tengah. Inggris kemudian mendapatkan Tanjung Harapan dan Sailan.
Dalam kebijakannya, Pemerintah Inggris tidak konsisten dengan ketentuan yang telah dibuat. Penerapan sistem pemerintahan pada masa sebelumnya masih dilakukan. Contohnya adalah masih tetap diberlakukannya tanam paksa dan pungutan wajib yang bertentangan dengan sistem sewa tanah.
Pemerintahan Belanda II dari Sewa Tanah ke Tanam Paksa
Pemerintahan Singkat Inggris (1811-1814), Berakhirnya kekuasaan Raffles tidak serta merta membuat sistem sewa tanah langsung dihapus. Pemerintah Belanda yang berkuasa kembali di Indonesia masih menerapkan sistem sewa tanah.
Pejabat Belanda yang masih menerapkan adalah Komisaris Jenderal Elout, Buykes, Van der Cappelen, dan Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignes (1826-1830). Sistem sewa tanah baru dihapus pada masa Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830).
Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kesulitan keuangan yang dihadapi Belanda akibat perang Jawa (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-1831). Beberapa ketentuan tanam paksa adalah sebagai berikut.
- Penduduk wajib menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman wajib.
- Tanah yang ditanami tanaman wajib bebas dari pajak.
- Waktu yang digunakan untuk pengerjaan tanaman wajib tidak melebihi waktu untuk menanam padi.
- Apabila harga tanaman wajib setelah dijual melebihi besarnya pajak tanah, kelebihannya dikembalikan kepada penduduk.
- Kegagalan panen tanaman wajib bukan karena kesalahan penduduk menjadi tanggung jawab Pemerintah Belanda.
- Penduduk dalam pekerjaannya dipimpin penguasa pribumi, sedangkan pegawai Eropa sebagai pengawas, pemungut, dan pengangkut.
- Penduduk yang tidak memiliki tanah harus melakukan kerja wajib selama seperlima tahun (66 hari) dan mendapatkan upah.
Ketentuan Tanam Paksa yang Memberatkan
Ketentuan tanam paksa yang sangat memberatkan, dalam pelaksanaannya lebih berat lagi. Banyak ketentuan yang dilanggar, baik oleh pegawai Eropa maupun pribumi. Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan rakyat adalah sebagai berikut.
- Ketentuan bahwa tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5, kenyataannya selalu lebih, bahkan sampai ½ dari tanah yang dimiliki rakyat.
- Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
- Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari dan tanpa imbalan yang memadai.
- Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Penderitaan rakyat Indonesia dapat dilihat dari angka kematian akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Pada 1848–1850, 9/10 penduduk Grobogan Jawa Tengah mati kelaparan. Dari jumlah penduduk 89.000, tinggal 9.000 orang. Penduduk Demak dari 336.000 tinggal 120.000 orang. Data ini belum termasuk penduduk di daerah lain.
Baca juga Iklim di Indonesia berkaitan erat dengan Lokasi Indonesia
Menentang Taman Paksa
Kecaman terhadap tanam paksa tidak hanya dari Indonesia. Kalangan humanis dan kapitalis di Belanda yang mengetahui penyelewengan tanam paksa menuntut agar tanam paksa dihapuskan. Kecaman tersebut membuahkan hasil dengan dihapuskannya tanam paksa pada 1870. Orang-orang Belanda yang menentang tanam paksa, antara lain berikut ini.
- Baron van Hoevel, membuka penyelewengan tanam paksa di Parlemen Belanda.
- E.F.E. Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (mantan Asisten Residen Banten) menerbitkan buku Max Havellar.
- L. Vitalis, seorang inspektur pertanian.
Penghapusan tanam paksa dilakukan secara bertahap, yaitu
- penghapusan tanam paksa lada tahun 1862;
- penghapusan tanam paksa teh, nila, indego tahun 1865;
- keluarnya UU Gula (Suikerwet) mengakhiri seluruh tanam paksa, kecuali kopi di Priangan Jawa Barat.
Tanam paksa memberikan keuntungan besar kepada pemerintah Belanda. Selama tanam paksa, Belanda mengeruk keuntungan bersih f 900 juta.