Warisan budaya kolonial Belanda di Indonesia adalah peninggalan sejarah yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial dan budaya. Bangunan-bangunan tua bergaya Eropa, sistem pendidikan dan administrasi, hingga kuliner dan gaya hidup adalah bagian dari jejak panjang kolonialisme yang masih terlihat hingga kini. Namun, warisan ini menimbulkan dilema tersendiri: apakah harus dilestarikan sebagai bagian dari sejarah, atau justru dikritisi karena berkaitan dengan masa penjajahan yang menyakitkan?
Artikel ini akan mengulas warisan budaya kolonial Belanda di Indonesia secara mendalam, melihat sisi pelestarian dan sisi kontroversialnya, serta bagaimana masyarakat Indonesia menyikapinya di era modern.
1. Apa Itu Warisan Budaya Kolonial?
Warisan budaya kolonial mencakup segala bentuk peninggalan fisik, sosial, dan budaya yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda selama masa kekuasaannya di Indonesia (±350 tahun). Ini bisa berupa:
- Bangunan dan infrastruktur seperti kantor pemerintahan, jembatan, stasiun, benteng, dan rumah dinas.
- Sistem hukum dan administrasi yang masih digunakan dalam pemerintahan Indonesia.
- Pendidikan bergaya Barat, seperti kurikulum, sistem kelas, dan bahasa Belanda sebagai bahasa intelektual.
- Kebudayaan populer, seperti makanan (klappertaart, semur), busana (kebaya encim), hingga musik keroncong.
2. Bentuk-Bentuk Warisan Kolonial di Indonesia
A. Arsitektur Kolonial
Bangunan bergaya neoklasik, art deco, dan Indische style banyak ditemukan di kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung. Contohnya:
- Gedung Sate (Bandung)
- Stasiun Kota Tua Jakarta
- Lawang Sewu (Semarang)
- Benteng Rotterdam (Makassar)
Bangunan ini bukan hanya indah secara arsitektural, tetapi juga menjadi daya tarik wisata sejarah.
B. Sistem Pemerintahan dan Hukum
Banyak sistem birokrasi dan hukum Indonesia saat ini yang berakar dari sistem kolonial Belanda, seperti:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pidana (KUHP) yang berasal dari hukum Belanda.
- Pembagian wilayah administratif, seperti provinsi dan kabupaten.
- Struktur pemerintahan desa yang mengadopsi sistem kolonial.
C. Pendidikan dan Bahasa
Sekolah-sekolah zaman kolonial seperti HIS, MULO, dan AMS adalah cikal bakal pendidikan modern Indonesia. Bahasa Belanda juga menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan dan jurnalistik pada awal abad ke-20.
3. Alasan Pelestarian Warisan Kolonial
A. Nilai Sejarah
Warisan kolonial adalah bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Pelestariannya penting untuk:
- Menjaga memori kolektif
- Memberi pelajaran tentang kolonialisme dan nasionalisme
- Membangun identitas kota melalui arsitektur historis
B. Potensi Ekonomi dan Pariwisata
Bangunan kolonial dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata budaya. Kawasan Kota Tua Jakarta, misalnya, menarik ribuan pengunjung lokal dan mancanegara setiap tahun.
C. Estetika dan Arsitektur Unik
Banyak bangunan kolonial dirancang dengan pendekatan tropis dan teknik konstruksi maju pada zamannya, menjadikannya warisan arsitektur berharga yang sulit ditiru saat ini.
4. Kontroversi dan Kritik terhadap Warisan Kolonial
A. Simbol Penindasan
Sebagian masyarakat melihat warisan kolonial sebagai simbol penindasan. Bangunan seperti penjara, kantor administrasi, dan markas militer Belanda membawa kenangan pahit tentang kerja paksa, kekerasan, dan diskriminasi rasial.
B. Diskusi Identitas Nasional
Mengglorifikasi warisan kolonial kadang dianggap mengaburkan perjuangan kemerdekaan dan melemahkan identitas nasional. Banyak yang bertanya: “Mengapa kita melestarikan peninggalan penjajah, bukan memperkuat warisan budaya bangsa sendiri?”
C. Masalah Gentrifikasi dan Privatisasi
Pelestarian kawasan kolonial sering kali menyebabkan gentrifikasi, di mana warga asli digusur demi pengembangan komersial atau pariwisata. Warisan menjadi eksklusif, bukan untuk rakyat.
Baca juga: Bagaimana Belanda Mulai Menguasai Perdagangan di Indonesia?