Pulau Bali, selain dikenal dengan kekayaan budaya dan spiritualitasnya, juga memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan kolonialisme. Di antara banyak daerah di Nusantara, Bali termasuk yang paling gigih mempertahankan kedaulatannya dari penjajahan Belanda. Perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali terhadap kolonialisme Belanda berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari diplomasi hingga perang terbuka, bahkan hingga ke bentuk perlawanan spiritual seperti puputan, yaitu perang habis-habisan sampai titik darah penghabisan.
Artikel ini akan mengulas secara lengkap bagaimana kerajaan-kerajaan di Bali seperti Buleleng, Karangasem, Klungkung, dan Badung melakukan perlawanan terhadap dominasi kolonial Belanda, serta dampaknya terhadap sejarah nasional Indonesia.
Latar Belakang Kolonialisme Belanda di Bali
Sejak abad ke-17, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mulai memperluas pengaruhnya di berbagai wilayah Nusantara, termasuk Bali. Namun, Bali memiliki struktur politik yang berbeda dengan wilayah lain seperti Jawa atau Sumatra, karena kekuasaannya tersebar dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil yang saling otonom.
Keadaan ini membuat Belanda kesulitan menundukkan Bali secara total. Setelah VOC bubar pada akhir abad ke-18, pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda) mengambil alih dan memperkuat ambisinya untuk menguasai Bali, terutama karena letaknya yang strategis dan hubungannya dengan perdagangan serta jalur laut internasional.
Perlawanan Kerajaan Buleleng (1846–1849)
Kerajaan Buleleng, yang terletak di Bali bagian utara, menjadi kerajaan pertama yang terlibat konflik bersenjata besar dengan Belanda. Salah satu alasan utama terjadinya perang adalah kebijakan tradisional Bali yang memberlakukan tawan karang, yaitu hak menyita kapal yang kandas di wilayahnya.
Belanda menganggap kebijakan ini mengganggu pelayaran dan perdagangan internasional. Akibatnya, pada tahun 1846, Belanda menyerang Buleleng di bawah pimpinan Jenderal Michiels. Serangan pertama dapat dipukul mundur, namun Belanda tidak menyerah.
Perang kembali meletus tahun 1848 dan 1849, dengan kekuatan militer Belanda yang lebih besar. Meskipun Raja Buleleng dan rakyatnya bertempur gigih, akhirnya istana dan benteng mereka dapat direbut. Perang Buleleng ini menjadi titik awal penetrasi militer Belanda di Bali.
Perlawanan Kerajaan Klungkung dan Puputan (1908)
Salah satu perlawanan paling heroik dalam sejarah Bali adalah Puputan Klungkung pada tahun 1908. Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan paling berpengaruh di Bali dan dianggap sebagai pusat legitimasi kekuasaan oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Saat Belanda ingin menaklukkan seluruh Bali, Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe, menolak tunduk. Ketika Belanda menyerbu, sang raja dan seluruh keluarga kerajaan melakukan puputan, yaitu berperang hingga mati daripada menyerah.
Lebih dari 200 orang tewas dalam peristiwa ini, termasuk keluarga kerajaan dan pengikutnya. Puputan Klungkung menjadi simbol nasional tentang keberanian dan martabat dalam menghadapi penjajahan.
Puputan Badung (1906): Simbol Perlawanan Rakyat Bali
Sebelum Puputan Klungkung, terjadi peristiwa Puputan Badung di Denpasar tahun 1906. Perlawanan ini dipicu oleh upaya Belanda yang ingin menegakkan kendali administratif dan pajak atas wilayah Kerajaan Badung.
Sama seperti di Klungkung, Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan bersama ratusan pengikutnya, termasuk perempuan dan anak-anak, mengenakan pakaian adat serba putih dan keluar dari istana dalam barisan teratur. Dengan membawa senjata tradisional, mereka menyerbu pasukan Belanda dalam bentuk pengorbanan massal.
Belanda, yang bersenjata lengkap, menembak mati hampir seluruh rombongan. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang gugur dalam peristiwa ini. Peristiwa puputan ini menggambarkan bahwa rakyat dan raja-raja Bali lebih memilih mati secara terhormat daripada hidup dalam pengaruh kolonial.
Perlawanan Kerajaan Karangasem
Kerajaan Karangasem dikenal sebagai salah satu kerajaan yang memiliki hubungan diplomatis yang dinamis dengan pihak kolonial. Namun, pada masa pemerintahan Anak Agung Gede Jelantik, Karangasem juga menunjukkan resistensi terhadap pengaruh kolonial yang terlalu dalam.
Meskipun tidak melakukan puputan seperti Klungkung dan Badung, Karangasem mengalami tekanan besar dari Belanda yang mencoba mengatur kebijakan dalam negeri kerajaan tersebut. Pada akhirnya, kerajaan ini pun berada dalam pengawasan administrasi Hindia Belanda, seperti banyak kerajaan lain di Bali pada awal abad ke-20.
Strategi Perlawanan: Diplomasi hingga Perang Terbuka
Perlawanan kerajaan di Bali tidak hanya berupa perang fisik. Ada juga strategi diplomatik, penolakan terhadap perjanjian sepihak, hingga pelestarian budaya sebagai bentuk perlawanan identitas. Para bangsawan dan pemuka adat sering kali menolak intervensi Belanda dalam urusan keagamaan, adat, dan tata pemerintahan lokal.
Kombinasi strategi ini menunjukkan bahwa perlawanan rakyat Bali terhadap kolonialisme adalah multidimensional, bukan semata-mata perang fisik, tapi juga perjuangan menjaga martabat budaya dan spiritualitas.
Baca juga: Dampak 350 Tahun Penjajahan Belanda terhadap Ekonomi dan Sosial Masyarakat Indonesia
Dampak Perlawanan terhadap Sejarah Nasional
Perlawanan kerajaan-kerajaan Bali terhadap kolonialisme Belanda memberikan pelajaran penting dalam sejarah perjuangan nasional. Semangat puputan menjadi simbol perlawanan yang dikenang hingga kini dan menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia.
Selain itu, perlawanan tersebut memperlambat dominasi penuh Belanda di Bali hingga awal abad ke-20, lebih lambat dibanding wilayah lain di Nusantara.
Warisan Sejarah Puputan dalam Masyarakat Bali
Hari ini, peristiwa puputan dan perlawanan kerajaan Bali diperingati dalam bentuk monumen, festival budaya, dan pengajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah. Beberapa contoh warisan tersebut antara lain:
- Monumen Puputan Klungkung di Semarapura
- Taman Puputan Badung di Denpasar
- Penggunaan kata “puputan” dalam wacana nasional sebagai simbol perjuangan dan keberanian
Kesimpulan
Perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali terhadap kolonialisme Belanda adalah bab penting dalam sejarah Indonesia. Lewat peristiwa-peristiwa seperti Puputan Buleleng, Badung, dan Klungkung, rakyat Bali menunjukkan semangat perlawanan yang luar biasa. Mereka memilih mempertahankan harga diri dan budaya ketimbang tunduk pada kekuasaan kolonial.
Semangat itu tetap hidup dan diwariskan melalui generasi demi generasi, menjadikan Bali tidak hanya sebagai pusat budaya, tetapi juga sebagai simbol perjuangan bangsa.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa yang dimaksud dengan puputan dalam sejarah Bali?
Puputan adalah bentuk perlawanan habis-habisan, di mana raja dan rakyatnya memilih berperang hingga mati daripada menyerah kepada penjajah.
2. Kerajaan mana saja di Bali yang melakukan puputan?
Puputan terjadi di Kerajaan Badung (1906) dan Kerajaan Klungkung (1908). Kedua peristiwa ini menjadi simbol keberanian rakyat Bali.
3. Mengapa Belanda sulit menguasai Bali dibanding wilayah lain?
Karena struktur kerajaan yang otonom, kekuatan budaya yang kuat, serta perlawanan sengit dari rakyat dan pemimpin lokal.
4. Apa dampak perlawanan Bali terhadap sejarah Indonesia?
Perlawanan di Bali menunjukkan semangat antikolonial yang kuat dan memperkuat narasi perjuangan nasional Indonesia.
5. Apakah puputan hanya terjadi di Bali?
Puputan adalah istilah khas Bali, namun semangat perjuangannya tercermin dalam berbagai bentuk perlawanan di wilayah lain Indonesia.
Referensi
- Pringle, Robert. A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Allen & Unwin, 2004.
- Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created. Tuttle Publishing, 2012.
- Ardika, I Wayan. Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern. Udayana University Press, 2017.
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Palgrave Macmillan, 2008.
- https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
- https://babadbali.com