Home » Sejarah » Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda: Dari Sekolah Rakyat hingga Perguruan Tinggi
Posted in

Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda: Dari Sekolah Rakyat hingga Perguruan Tinggi

Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda: Dari Sekolah Rakyat hingga Perguruan Tinggi (ft.istimewa)
Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda: Dari Sekolah Rakyat hingga Perguruan Tinggi (ft.istimewa)

Pendidikan merupakan alat penting dalam pembentukan kesadaran dan perubahan sosial dalam masyarakat. Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda, pendidikan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) bukan hanya menjadi sarana pembelajaran, melainkan juga alat kekuasaan. Sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial bertujuan utama untuk mendukung kepentingan kolonial dan membentuk tenaga kerja terampil namun tetap tunduk pada kekuasaan Belanda.

Namun, meski dirancang untuk kepentingan Belanda, pendidikan justru menjadi jalan lahirnya kaum intelektual pribumi yang kemudian memainkan peran penting dalam gerakan nasional Indonesia. Artikel ini akan membahas perkembangan pendidikan dari masa tanam paksa hingga munculnya perguruan tinggi di Indonesia, serta dampaknya terhadap rakyat.


Pendidikan Awal: Eksklusif untuk Kaum Elite

Pada awal abad ke-19, akses pendidikan sangat terbatas dan diperuntukkan hampir secara eksklusif bagi anak-anak Eropa atau elite pribumi. Sekolah yang ada biasanya bersifat misionaris atau didirikan oleh pihak swasta. Pendidikan bagi rakyat biasa hampir tidak tersedia.

Pendidikan hanya diberikan pada golongan tertentu agar mereka dapat membantu administrasi pemerintahan kolonial, namun tidak cukup tinggi untuk memungkinkan munculnya pemikiran kritis atau perlawanan.


Munculnya Politik Etis dan Reformasi Pendidikan

Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda Pada awal abad ke-20, penerapan Politik Etis oleh Belanda mulai mengubah arah pendidikan. Salah satu pilar utama dari kebijakan ini adalah edukasi (pendidikan). Tujuannya adalah menciptakan tenaga kerja yang lebih terdidik namun tetap loyal kepada pemerintahan kolonial.

Beberapa jenis sekolah yang muncul pada masa ini antara lain:

1. Sekolah Rakyat (Volkschool)

Sekolah ini ditujukan untuk rakyat biasa, dengan lama pendidikan hanya 3 tahun. Kurikulum berfokus pada membaca, menulis, berhitung, dan sedikit pengetahuan praktis. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa daerah.

2. Sekolah Dasar Belanda untuk Pribumi (HIS)

Hollandsch-Inlandsche School (HIS) diperuntukkan bagi anak-anak elite pribumi, dengan lama belajar 7 tahun. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda, dan kurikulum lebih tinggi dari Sekolah Rakyat.

3. Sekolah untuk Anak Eropa (ELS)

Europeesche Lagere School (ELS) khusus untuk anak-anak Eropa, namun anak pribumi dan Timur Asing yang kaya dan berpengaruh bisa masuk. Pendidikan di sekolah ini lebih berkualitas dan mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.


Jenjang Pendidikan Menengah dan Kejuruan

Pendidikan menengah pada masa kolonial terbagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan tujuan dan latar belakang sosial murid:

1. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

Setara dengan SMP sekarang, MULO merupakan sekolah menengah pertama dengan pengantar bahasa Belanda. Lulusan MULO bisa melanjutkan ke AMS atau sekolah kejuruan.

2. AMS (Algemene Middelbare School)

Setara dengan SMA, AMS disiapkan untuk mempersiapkan siswa masuk ke sekolah tinggi atau bekerja sebagai pegawai pemerintah.

3. Sekolah Kejuruan (VHO, HBS, dll.)

Termasuk di dalamnya sekolah guru (Kweekschool), sekolah pertanian, teknik, dan kesehatan. Sekolah ini mempersiapkan lulusan untuk langsung bekerja dalam struktur kolonial.


Perguruan Tinggi di Masa Kolonial

Sebelum Indonesia merdeka, perguruan tinggi sudah mulai berdiri walau sangat terbatas jumlah dan aksesnya. Beberapa contoh penting:

1. STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen)

Didirikan pada 1902 di Batavia (Jakarta), STOVIA adalah sekolah kedokteran pertama bagi pribumi. Banyak tokoh nasional seperti Dr. Soetomo lahir dari institusi ini.

2. Rechtsschool

Sekolah hukum bagi kaum terpelajar pribumi, meski tidak memberikan status hukum setara dengan orang Belanda.

3. Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS)

Didirikan tahun 1920 di Bandung, sekolah ini merupakan cikal bakal ITB (Institut Teknologi Bandung). Salah satu alumninya adalah Ir. Soekarno.

4. Geneeskundige Hogeschool (GHS)

Merupakan sekolah tinggi kedokteran yang lebih tinggi dari STOVIA, berdiri di Batavia.

5. Universiteit van Indonesië

Dibuka pada 1947, dan menjadi embrio dari Universitas Indonesia.

Baca juga: Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Masyarakat dan Ekonomi Indonesia


Diskriminasi dalam Akses Pendidikan

Sistem pendidikan kolonial bersifat diskriminatif:

  • Mayoritas rakyat tidak mendapat pendidikan formal.
  • Sekolah-sekolah terbaik diperuntukkan bagi orang Eropa dan elite pribumi.
  • Bahasa Belanda menjadi penghalang bagi banyak siswa.
  • Kurikulum menanamkan loyalitas pada Belanda, bukan kebangsaan Indonesia.

Namun, dalam ketimpangan ini justru lahir kesadaran baru dari siswa-siswa terdidik akan pentingnya kemerdekaan dan identitas nasional.


Pendidikan dan Lahirnya Kaum Pergerakan

Pendidikan kolonial yang terbatas justru melahirkan kaum intelektual pribumi yang menjadi pelopor pergerakan nasional. Tokoh-tokoh seperti:

  • Ki Hajar Dewantara: Tokoh pendidikan nasional, pendiri Taman Siswa.
  • Soetomo: Pendiri Budi Utomo.
  • Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker: Pendiri Indische Partij.

Mereka mengkritik sistem pendidikan kolonial dan berupaya menciptakan sistem pendidikan nasional yang merdeka dan berkepribadian Indonesia.


Peran Lembaga Pendidikan Swasta Pribumi

Sebagai respons terhadap ketidakadilan pendidikan kolonial, lahirlah sekolah-sekolah nasional seperti:

  • Taman Siswa (1922): Pendidikan yang menekankan kebangsaan dan kemandirian.
  • Muhammadiyah (1912): Mendirikan sekolah-sekolah modern berbasis Islam.
  • Perguruan Kaoem Moeda, Perguruan INS Kayutanam, dan lainnya.

Lembaga-lembaga ini berperan penting dalam menumbuhkan semangat nasionalisme.


Kesimpulan

Pendidikan pada masa kolonial Belanda awalnya ditujukan untuk mendukung kepentingan kolonial dan hanya diberikan pada lapisan elite. Namun, kehadiran pendidikan modern di Hindia Belanda secara tidak langsung membentuk kaum terpelajar pribumi yang menjadi motor utama pergerakan nasional.

Dari Sekolah Rakyat hingga perguruan tinggi seperti STOVIA dan THS, pendidikan kolonial telah membuka jalan menuju kesadaran politik dan nasionalisme. Walaupun penuh diskriminasi, sistem ini menciptakan ruang intelektual bagi munculnya tokoh-tokoh pejuang bangsa.

Pendidikan bukan hanya alat belajar, tetapi juga senjata untuk melawan penindasan. Sejarah pendidikan kolonial membuktikan bahwa ilmu dapat membebaskan sebuah bangsa.


FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

1. Apa itu Sekolah Rakyat pada masa kolonial?

Sekolah Rakyat (Volkschool) adalah sekolah dasar untuk rakyat pribumi dengan lama belajar tiga tahun dan kurikulum yang sangat sederhana.


2. Siapa saja yang boleh mengenyam pendidikan tinggi pada masa kolonial?

Hanya anak-anak Eropa, Timur Asing kaya, dan elite pribumi yang bisa masuk pendidikan tinggi seperti STOVIA atau THS.


3. Apa dampak pendidikan kolonial terhadap Indonesia?

Meski terbatas, pendidikan kolonial menciptakan kaum intelektual pribumi yang memelopori kebangkitan nasional dan perlawanan terhadap penjajahan.


4. Apa perbedaan antara HIS dan ELS?

HIS (untuk pribumi) dan ELS (untuk Eropa) memiliki kualitas pendidikan berbeda, dengan ELS lebih unggul dan akses ke jenjang lebih tinggi lebih terbuka.


5. Apa kontribusi sekolah swasta seperti Taman Siswa?

Taman Siswa dan sekolah pribumi lainnya menekankan pendidikan nasional, budaya lokal, dan semangat kebangsaan yang tidak diajarkan dalam sistem kolonial.


Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.