Kesultanan Cirebon merupakan salah satu kerajaan Islam penting yang berkembang di wilayah pesisir utara Jawa Barat pada abad ke-15 hingga ke-17. Terletak di jalur perdagangan strategis, Kesultanan Cirebon memainkan peran sentral dalam penyebaran agama Islam dan politik regional. Hubungannya dengan dua kerajaan besar lainnya—Kesultanan Demak di Jawa Tengah dan Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa—menjadi faktor penting dalam membentuk dinamika politik dan keagamaan di Nusantara.
Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah Kesultanan Cirebon, menjelajahi hubungan diplomatik, keagamaan, dan militer antara Cirebon, Demak, dan Banten, serta bagaimana pengaruh antar-kesultanan ini membentuk perkembangan Islam dan kebudayaan di Tanah Jawa.
Awal Berdirinya Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15, diawali dari sebuah pemukiman kecil di pesisir utara Jawa Barat bernama Caruban (yang berarti “campuran”, karena masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis: Sunda, Jawa, Arab, Tionghoa, dan lainnya). Wilayah ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan dakwah Islam.
Pendiri Kesultanan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Wali Songo. Beliau adalah putra dari Nyai Rara Santang (putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran) dan Syarif Abdullah dari Mesir. Sunan Gunung Jati memainkan peran penting dalam Islamisasi Jawa Barat dan menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam yang mandiri.
Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kesultanan Demak
1. Aspek Politik dan Keagamaan
Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri sekitar tahun 1475. Didirikan oleh Raden Patah, Demak berperan sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Tengah dan menjadi kekuatan politik baru yang menggantikan dominasi Hindu-Buddha.
Hubungan Cirebon dan Demak sangat erat, terutama dalam bidang keagamaan. Sunan Gunung Jati memiliki hubungan personal dan ideologis dengan Wali Songo lainnya, termasuk Sunan Kalijaga yang merupakan tokoh penting di Demak. Kedua kesultanan ini memiliki visi yang sama: menyebarkan ajaran Islam secara damai, melalui dakwah, pendidikan, dan pernikahan politik.
2. Dukungan dalam Perluasan Islam
Kesultanan Demak mendukung berdirinya Cirebon sebagai kerajaan Islam agar dapat menjadi benteng Islam di wilayah barat Jawa, yang masih didominasi oleh kerajaan Hindu seperti Pajajaran. Kolaborasi ini mempercepat proses Islamisasi wilayah Sunda dan memperkuat posisi Cirebon secara politik.
3. Aliansi Melawan Pajajaran
Kerjasama militer juga terjadi antara Cirebon dan Demak, terutama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Pajajaran yang masih memegang agama Hindu. Cirebon, dengan dukungan moral dan militer dari Demak, melakukan ekspansi ke arah timur dan barat, sekaligus memperluas pengaruh Islam.
Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kesultanan Banten
1. Ikatan Keluarga dan Dakwah
Kesultanan Banten berdiri sekitar tahun 1526, ketika Sunan Gunung Jati dan anak angkatnya, Fatahillah, berhasil menaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan wilayah Banten. Setelah wilayah ini dikuasai, Sunan Gunung Jati menyerahkannya kepada putranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi Sultan pertama Banten.
Dengan demikian, Kesultanan Banten pada awalnya merupakan bagian dari ekspansi Cirebon. Artinya, Cirebon dan Banten memiliki hubungan sangat dekat sebagai ayah dan anak secara literal dan simbolik. Kedua kerajaan ini menjadi pusat kekuatan Islam di barat Pulau Jawa.
2. Perkembangan Banten sebagai Kesultanan Mandiri
Seiring waktu, Kesultanan Banten tumbuh menjadi kerajaan yang kuat secara ekonomi karena menguasai jalur perdagangan penting di Selat Sunda. Hubungan Banten dengan dunia Islam internasional, seperti Kesultanan Utsmaniyah dan para pedagang Muslim dari Gujarat, semakin memperkuat posisi Banten.
Meskipun secara politik Banten mulai mandiri dan bahkan lebih dominan dibandingkan Cirebon, hubungan antara keduanya tetap erat dalam hal budaya, agama, dan nilai-nilai Islam.
3. Ketegangan dan Persaingan
Pada abad ke-17, hubungan Cirebon dan Banten mulai mengalami gesekan. Ketegangan muncul karena pengaruh Belanda (VOC) yang mulai mendekati Cirebon dan mengganggu keseimbangan politik. Banten, yang menolak campur tangan Belanda, mulai memandang Cirebon sebagai pihak yang terlalu lunak terhadap kekuasaan asing.
Namun demikian, hubungan sejarah dan budaya antara kedua kerajaan ini tidak pernah sepenuhnya terputus.
Peran Cirebon Sebagai Jembatan Budaya dan Dakwah
Karena posisinya yang berada di antara Demak di timur dan Banten di barat, Kesultanan Cirebon sering dianggap sebagai jembatan budaya dan dakwah Islam. Cirebon memainkan peran penting dalam:
- Menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam konteks budaya lokal Sunda dan Jawa.
- Mengembangkan seni Islam seperti kaligrafi, batik bermotif Islami (contoh: Mega Mendung), dan seni tari topeng yang mengandung unsur pendidikan moral.
- Menjadi pusat pendidikan Islam dan penyebaran kitab-kitab keagamaan.
Pengaruh Tiga Kesultanan dalam Islamisasi Jawa
Kerjasama dan saling pengaruh antara Demak, Cirebon, dan Banten mempercepat penyebaran Islam di Pulau Jawa, khususnya di wilayah pesisir yang menjadi jalur perdagangan. Peran para wali, khususnya Sunan Gunung Jati, menjadi simbol dakwah yang damai dan penuh toleransi, menjadikan Islam diterima secara luas di kalangan masyarakat Nusantara.
Ketiganya juga membentuk jaringan politik dan keagamaan yang kuat sehingga bisa melawan pengaruh Portugis dan VOC di kemudian hari.
Baca juga: VOC: Kongsi Dagang yang Berubah Menjadi Penguasa Nusantara
Warisan Hubungan Ini di Masa Kini
Warisan sejarah hubungan antara Kesultanan Cirebon, Demak, dan Banten masih bisa dilihat hingga hari ini melalui:
- Keraton: Seperti Keraton Kasepuhan di Cirebon dan Keraton Surosowan di Banten.
- Masjid Tua: Masjid Agung Sang Cipta Rasa (Cirebon), Masjid Agung Demak, dan Masjid Agung Banten adalah simbol kejayaan tiga kesultanan ini.
- Ziarah Wali: Makam Sunan Gunung Jati, Sultan Hasanuddin, dan para pendiri Demak menjadi tempat ziarah penting.
- Festival Budaya Islam: Setiap tahun, upacara adat seperti Panjang Jimat di Cirebon dan perayaan Maulid Nabi di Banten memperlihatkan kelanjutan tradisi Islam dari masa lampau.
Kesimpulan
Kesultanan Cirebon memiliki peran strategis dan historis dalam jaringan kekuasaan Islam di Nusantara. Hubungannya dengan Kesultanan Demak dan Banten tidak hanya bersifat politis, tetapi juga ideologis dan keagamaan. Kolaborasi dan saling pengaruh antara tiga kesultanan ini membentuk dasar kuat bagi Islamisasi Pulau Jawa dan perkembangan budaya Islam Indonesia.
Melalui dakwah yang damai, perkawinan politik, dan kekuatan maritim, tiga kerajaan ini berhasil menyatukan wilayah-wilayah pesisir ke dalam lingkaran Islam. Warisan tersebut kini menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Indonesia.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Siapa pendiri Kesultanan Cirebon?
Pendiri Kesultanan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo.
2. Apa hubungan antara Cirebon dan Demak?
Cirebon didukung oleh Kesultanan Demak dalam pendiriannya. Keduanya bekerja sama dalam penyebaran Islam dan melawan kerajaan Hindu seperti Pajajaran.
3. Bagaimana hubungan Cirebon dan Banten terbentuk?
Banten didirikan oleh Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati. Jadi, hubungan Cirebon dan Banten pada awalnya adalah hubungan keluarga dan dakwah.
4. Apakah ketiga kesultanan itu masih ada sekarang?
Secara politik tidak, tetapi warisan budaya dan struktur keraton mereka masih ada, seperti di Cirebon dan Banten.
5. Apakah ada peninggalan sejarah yang bisa dikunjungi?
Ya, termasuk Keraton Kasepuhan (Cirebon), Masjid Agung Demak, dan Masjid Agung Banten, serta makam para tokoh penting seperti Sunan Gunung Jati.
Referensi
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ensiklopedi Islam Nusantara.
- https://keratonkasepuhan.com
- https://demakkab.go.id
- https://dispar.bantenprov.go.id