Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta, merupakan pusat kekuasaan kolonial Belanda di wilayah Nusantara selama lebih dari tiga abad. Sebagai kota administratif dan pusat kendali VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Batavia tidak hanya menjadi simbol dominasi ekonomi dan militer, tetapi juga saksi bisu dari berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Bagaimana sejarah Batavia dalam Perlawanan Rakyat?
Artikel Batavia dalam perlawanan rakyat ini akan membahas bagaimana perlawanan rakyat, mulai dari kerusuhan, pemberontakan, hingga gerakan terorganisir, muncul di Batavia sebagai respons terhadap penindasan kolonial Belanda. Dari Pemberontakan Tionghoa 1740 hingga gerakan nasionalisme awal abad ke-20, Batavia menjadi panggung penting dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme.
Batavia: Kota Kolonial yang Sarat Ketimpangan
Sejak dibentuk pada 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen, Batavia dirancang sebagai kota untuk orang-orang Eropa. Penduduk pribumi, Tionghoa, dan kelompok non-Eropa lainnya ditempatkan dalam struktur sosial yang diskriminatif dan terpinggirkan. Diskriminasi dalam upah, tempat tinggal, pajak, dan perlakuan hukum menciptakan ketegangan sosial yang terus berkembang.
VOC yang pada awalnya merupakan perusahaan dagang swasta, bertindak seperti negara dengan kewenangan untuk mengatur hukum, angkatan bersenjata, hingga sistem perpajakan. Kebijakan eksploitatif inilah yang menyulut berbagai pemberontakan dan kerusuhan di Batavia.
Pemberontakan Tionghoa 1740: Tragedi Berdarah di Batavia
Salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Batavia adalah Pemberontakan dan Pembantaian Tionghoa tahun 1740. Ketegangan antara pemerintah kolonial dan warga keturunan Tionghoa meningkat akibat pembatasan perdagangan, kewajiban kerja paksa, serta pengusiran secara paksa ke daerah luar Batavia.
Pada Oktober 1740, ribuan warga Tionghoa melakukan pemberontakan bersenjata setelah ratusan dari mereka dideportasi secara paksa dan banyak yang hilang secara misterius. VOC, di bawah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, merespons dengan kekerasan brutal.
Selama beberapa hari, pasukan VOC dan penduduk Eropa menyerang permukiman Tionghoa. Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas dalam peristiwa tersebut. Ini menjadi simbol kejamnya kekuasaan kolonial dan memperkuat sentimen anti-Belanda di kalangan masyarakat non-Eropa.
Perlawanan Kaum Pribumi dan Tokoh Lokal
Selain kelompok Tionghoa, masyarakat pribumi juga aktif melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial di Batavia dan sekitarnya. Beberapa bentuk perlawanan ini antara lain:
1. Pemberontakan Banten (1680-an)
Banten yang sempat menjadi kerajaan kuat di Jawa Barat, melakukan perlawanan terhadap ekspansi VOC. Walaupun pusatnya tidak di Batavia, tetapi kota ini menjadi target serangan simbolis atas dominasi Belanda.
2. Perlawanan Mataram
Beberapa serangan dari Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629 menargetkan Batavia sebagai pusat kekuasaan Belanda. Walaupun gagal menaklukkan kota ini, perlawanan ini menunjukkan bahwa Batavia adalah simbol penjajahan yang ingin dihancurkan.
3. Perlawanan Kiai Modjo dan Diponegoro
Setelah Perang Diponegoro meletus di Jawa Tengah (1825–1830), banyak pejuang yang ditangkap dikirim ke Batavia untuk diadili dan dipenjara. Meskipun pusat perangnya bukan di Batavia, kota ini menjadi tempat simbolik kekalahan, tetapi juga api semangat bagi gerakan selanjutnya.
Kerusuhan dan Perlawanan Sosial di Awal Abad ke-20
Masuknya ide-ide nasionalisme, sosialisme, dan modernisme ke Indonesia membawa perubahan cara rakyat melawan penjajahan. Batavia sebagai pusat pendidikan dan birokrasi kolonial menjadi tempat munculnya gerakan politik dan sosial:
1. Kebangkitan Organisasi Nasional
Organisasi seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam, hingga Indische Partij mulai menyuarakan perlawanan non-kekerasan terhadap ketidakadilan kolonial. Tokoh-tokoh seperti Cipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat sering berkegiatan dan berpidato di Batavia.
2. Demonstrasi dan Pemogokan
Tahun 1920-an dan 1930-an ditandai dengan meningkatnya aksi buruh, pemogokan massal, dan demonstrasi mahasiswa. Batavia menjadi pusat pemogokan buruh kereta api, percetakan, dan pelabuhan.
3. Penerbitan dan Perlawanan Lewat Media
Media massa seperti “Medan Prijaji” dan “Tjahaja Hindia” mulai menyebarkan kritik terhadap sistem kolonial dan membangkitkan kesadaran politik rakyat di Batavia.
Baca juga: Cornelis de Houtman: Penjelajah Belanda Pertama yang Tiba di Nusantara
Peran Batavia dalam Perang Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Batavia (yang kemudian berganti nama menjadi Jakarta) menjadi pusat perebutan kekuasaan. Belanda berupaya merebut kembali kota ini melalui agresi militer dan operasi militer lainnya.
Beberapa bentuk perlawanan rakyat di Jakarta antara lain:
- Pertempuran Senen dan Menteng: Pemuda-pemuda dari Laskar Rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melakukan perlawanan sengit melawan tentara NICA dan sekutu.
- Aksi sabotase dan penghadangan terhadap jalur logistik militer Belanda.
- Pengungsian massal ke pinggiran kota sebagai strategi bertahan dalam pertempuran kota.
Meskipun Belanda sempat menguasai sebagian besar Batavia, perlawanan terus berlanjut hingga akhirnya Indonesia diakui kemerdekaannya secara de jure pada tahun 1949.
Warisan Perlawanan di Batavia/Jakarta
Jejak perlawanan rakyat masih dapat ditelusuri dalam bentuk:
- Monumen seperti Tugu Proklamasi dan Taman Makam Pahlawan Kalibata
- Bangunan kolonial yang kini dijadikan museum perjuangan
- Nama jalan seperti Jalan Diponegoro, Jalan Teuku Umar, dan Jalan Sisingamangaraja yang mengenang tokoh-tokoh perlawanan
Kota ini menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia dalam menuntut keadilan, kemerdekaan, dan harga diri sebagai bangsa.
Kesimpulan
Batavia dalam perlawanan rakyat, Batavia tidak hanya menjadi pusat kolonial Belanda di Nusantara, tetapi juga panggung penting bagi berbagai bentuk perlawanan rakyat. Mulai dari pemberontakan Tionghoa 1740, perlawanan lokal seperti Mataram dan Banten, hingga aksi nasionalisme abad ke-20, semuanya menunjukkan betapa kuatnya semangat rakyat dalam menghadapi penindasan.
Perlawanan di Batavia mencerminkan bahwa kolonialisme tidak pernah diterima secara pasif. Rakyat dari berbagai latar belakang – Tionghoa, pribumi, buruh, pelajar – bersatu dalam semangat yang sama: melawan ketidakadilan.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa yang menyebabkan Pemberontakan Tionghoa 1740 di Batavia?
Pemberontakan dipicu oleh kebijakan diskriminatif VOC terhadap warga Tionghoa, termasuk deportasi paksa dan pembatasan ekonomi. Ketegangan ini memuncak menjadi pemberontakan yang kemudian dibalas dengan pembantaian massal.
2. Apakah Kesultanan Mataram pernah menyerang Batavia?
Ya. Sultan Agung dari Mataram melancarkan dua kali serangan besar terhadap Batavia pada 1628 dan 1629, meskipun keduanya gagal karena pertahanan kuat VOC.
3. Apa bentuk perlawanan rakyat di Batavia abad ke-20?
Perlawanan rakyat mencakup demonstrasi politik, pemogokan buruh, penerbitan media kritis, dan pembentukan organisasi nasionalis seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.
4. Apa peran Batavia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia?
Setelah 1945, Batavia menjadi pusat konflik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan tentara Belanda yang ingin merebut kembali kekuasaan. Pertempuran dan sabotase terjadi di banyak bagian kota.
5. Apakah peninggalan perlawanan di Batavia masih bisa dilihat sekarang?
Ya. Banyak monumen, nama jalan, museum, dan bangunan kolonial di Jakarta saat ini menyimpan jejak sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
Referensi
- Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.
- Heuken SJ, Adolf. (1997). Historical Sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
- Abeyasekere, Susan. (1989). Jakarta: A History. Oxford University Press.
- Arsip Nasional Republik Indonesia – https://anri.go.id
- Jakarta Heritage Trail – https://jakartaheritage.id
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta – https://jakarta.go.id
