Bahasa dan sastra adalah unsur penting dalam identitas budaya suatu masyarakat. Di Aceh, bahasa dan sastra tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sebagai media penyampaian nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, sejarah, dan filosofi hidup. Dalam konteks masyarakat Aceh yang religius dan kaya tradisi, bahasa dan sastra berkembang sebagai bentuk warisan lisan yang hidup dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara komprehensif tentang perkembangan bahasa Aceh, ragam sastra Aceh, nilai budaya yang dikandungnya, serta tantangan pelestarian di tengah arus modernisasi.
1. Bahasa Aceh: Identitas dan Alat Perekat Sosial
a. Asal-usul dan Penyebaran
Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, cabang dari kelompok Melayu-Polinesia. Bahasa ini banyak digunakan di wilayah pesisir timur, barat, dan utara Aceh, terutama di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, dan Lhokseumawe.
Selain bahasa Aceh, di provinsi ini juga digunakan beberapa bahasa daerah lain seperti Bahasa Gayo, Alas, Tamiang, dan Kluet. Namun, Bahasa Aceh memiliki posisi dominan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dan simbol identitas etnis Aceh.
b. Struktur Bahasa Aceh
Bahasa Aceh memiliki ciri khas tersendiri dalam pelafalan dan struktur gramatikalnya. Salah satu kekhasan adalah penggunaan partikel โkaโ untuk menandai waktu lampau (mirip dengan โsudahโ dalam bahasa Indonesia), serta sistem kata ganti orang yang lebih kompleks dari bahasa Melayu.
Contoh:
- Lon ka meunyoe โ Saya sudah makan
- Droe neupeugah ka hanjeut โ Kamu bilang sudah tidak datang
2. Ragam Sastra Aceh: Dari Hikayat hingga Didong
a. Hikayat
Hikayat adalah bentuk sastra naratif yang mengandung unsur sejarah, legenda, dan nilai keagamaan. Salah satu hikayat terkenal adalah Hikayat Prang Sabi, yang mengajak umat Islam Aceh untuk berjihad melawan penjajahan.
Hikayat disampaikan dalam bentuk tulisan beraksara Jawi (Arab-Melayu), namun banyak juga yang berkembang dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut, terutama di kalangan masyarakat dayah (pesantren tradisional).
b. Syair dan Nazam
Syair dan nazam merupakan bentuk puisi Aceh yang biasanya berisi nasihat, pujian kepada Allah dan Nabi, atau pesan moral. Nazam sering digunakan dalam dakwah, terutama saat pengajian atau peringatan hari besar Islam.
Contoh penggalan nazam (dalam bahasa Aceh):
Peugah geutanyoe jih rakan, hana lon saboh lam donya
(Teman kita berkata, aku tidak punya siapa-siapa di dunia)
c. Didong (Gayo)
Meski bukan dalam bahasa Aceh, didong adalah sastra lisan dari masyarakat Gayo yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan sastra Aceh. Didong merupakan pertunjukan yang menggabungkan puisi, musik, dan gerak, berisi nasihat, kritik sosial, dan pujian.
d. Pantun dan Peribahasa
Sebagai bagian dari budaya Melayu, masyarakat Aceh juga memiliki tradisi pantun dan peribahasa. Pantun Aceh sering disisipkan dalam percakapan atau acara adat sebagai bentuk kecerdasan berbahasa dan cara menyampaikan pesan dengan santun.
3. Fungsi Sosial dan Budaya Sastra Aceh
a. Pendidikan dan Dakwah
Banyak karya sastra Aceh mengandung nilai-nilai keislaman, baik dalam bentuk hikayat maupun nazam. Ulama Aceh menggunakan sastra sebagai media dakwah yang efektif karena mudah diterima masyarakat.
b. Sarana Mempertahankan Identitas
Sastra lisan Aceh membantu mempertahankan bahasa daerah dari kepunahan. Dengan tetap dilisankan dalam berbagai upacara adat, nilai-nilai lokal dan jati diri Aceh tetap hidup.
c. Perekat Sosial dan Media Hiburan
Pertunjukan sastra seperti didong dan pembacaan hikayat menjadi media hiburan sekaligus ajang mempererat hubungan sosial antarwarga, terutama di pedesaan.
4. Tantangan dalam Pelestarian
a. Modernisasi dan Perubahan Gaya Hidup
Generasi muda Aceh kini lebih akrab dengan media sosial dan budaya populer daripada karya sastra lokal. Hal ini menyebabkan penurunan minat terhadap pembelajaran bahasa dan sastra daerah.
b. Terbatasnya Dokumentasi
Banyak karya sastra Aceh masih hidup dalam bentuk lisan dan belum terdokumentasikan secara baik. Tanpa upaya digitalisasi, warisan ini rentan hilang seiring waktu.
c. Kurangnya Dukungan Kurikulum
Bahasa Aceh belum menjadi bagian utama dalam kurikulum formal pendidikan dasar dan menengah. Hal ini menyulitkan generasi muda untuk belajar dan memahami bahasa serta sastra daerahnya sendiri.
Baca juga: Tips Efektif untuk Guru: Meningkatkan Keterlibatan Siswa di Kelas
5. Upaya Pelestarian dan Revitalisasi
a. Pengajaran Bahasa Aceh di Sekolah
Beberapa sekolah di Aceh mulai mengintegrasikan pelajaran Bahasa Aceh sebagai muatan lokal. Ini menjadi langkah penting dalam memperkenalkan kembali bahasa dan sastra kepada siswa.
b. Festival dan Lomba Sastra Daerah
Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan sering menggelar lomba pembacaan hikayat, penulisan syair, dan pertunjukan sastra sebagai bentuk pelestarian sekaligus promosi budaya Aceh.
c. Digitalisasi dan Dokumentasi
Lembaga seperti Balai Bahasa Aceh, UIN Ar-Raniry, dan Komunitas Sastra Aceh aktif melakukan digitalisasi naskah-naskah kuno, serta merekam pertunjukan sastra lisan agar bisa diakses oleh publik secara luas.
d. Peran Dayah dan Ulama
Dayah masih menjadi benteng utama pelestarian sastra Aceh bernuansa Islam. Para ulama menyampaikan nazam dan hikayat dalam pengajian rutin sebagai bentuk edukasi kultural.
