Home » Sejarah dan Budaya » Sejarah Aceh: Dari Kesultanan Islam hingga Daerah Istimewa
Posted in

Sejarah Aceh: Dari Kesultanan Islam hingga Daerah Istimewa

Sejarah Aceh: Dari Kesultanan Islam hingga Daerah Istimewa (ft.istimewa)
Sejarah Aceh: Dari Kesultanan Islam hingga Daerah Istimewa (ft.istimewa)

Aceh adalah salah satu wilayah paling bersejarah di Indonesia. Terletak di ujung utara Pulau Sumatra, Aceh telah memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara, baik dalam penyebaran agama Islam, perlawanan terhadap penjajahan, hingga perannya dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perjalanan sejarah Aceh yang panjang dan penuh dinamika menjadikannya daerah dengan status khusus yang diakui secara hukum sebagai Daerah Istimewa Aceh.

Artikel ini akan mengulas perkembangan sejarah Aceh mulai dari masa kejayaan kesultanan Islam, era kolonialisme, masa kemerdekaan, konflik dan perdamaian, hingga pengakuan status keistimewaannya oleh pemerintah pusat.


Kesultanan Aceh: Pusat Peradaban Islam di Barat Indonesia

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri pada awal abad ke-16, tepatnya tahun 1514, di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Aceh memiliki pelabuhan yang strategis di Selat Malaka, yang menjadikannya pusat perdagangan rempah-rempah, emas, dan tekstil.

Masa kejayaan Kesultanan Aceh terjadi pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Di bawah pemerintahannya, Aceh mengalami ekspansi wilayah, penguatan militer, dan peningkatan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Kesultanan Ottoman di Turki dan kerajaan-kerajaan Islam di India.

Selain kekuatan politik dan militer, Kesultanan Aceh juga dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani lahir dari bumi Aceh. Peran wanita juga menonjol, terbukti dengan hadirnya pemimpin perempuan seperti Sultanah Shafiatuddin yang memimpin setelah wafatnya Iskandar Tsani.


Aceh di Masa Penjajahan: Perlawanan Tanpa Henti

Ketika kolonialisme Belanda mulai menyebar ke seluruh Nusantara, Aceh menjadi salah satu wilayah yang paling gigih melawan penjajah. Perang Aceh yang berlangsung sejak tahun 1873 hingga 1904 adalah salah satu konflik terpanjang dan paling sengit dalam sejarah perlawanan Indonesia terhadap penjajah Belanda.

Tokoh-tokoh pejuang seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Polem menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh yang heroik. Perlawanan ini tidak hanya bersifat militer, tetapi juga spiritual dan ideologis. Rakyat Aceh melihat penjajahan sebagai bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dan kehormatan bangsa.

Meskipun Belanda akhirnya berhasil menguasai wilayah Aceh, semangat perlawanan tidak pernah padam. Budaya perlawanan ini menjadi warisan penting dalam karakter masyarakat Aceh hingga masa kini.


Masa Kemerdekaan: Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Aceh menjadi salah satu wilayah yang menyatakan dukungan penuh terhadap Republik Indonesia. Bahkan, Aceh menjadi daerah yang menyediakan banyak bantuan logistik dan keuangan untuk mendukung perjuangan diplomatik Indonesia di forum internasional.

Namun, hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat sempat mengalami ketegangan pada awal masa kemerdekaan. Aceh merasa diabaikan dalam pembagian kekuasaan dan pembangunan nasional, terutama setelah wilayahnya digabungkan ke dalam Provinsi Sumatra Utara pada tahun 1950-an. Akibatnya, muncul berbagai gerakan separatis, seperti DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1953.

Konflik tersebut berakhir dengan perjanjian damai dan pemberian status Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1959. Status ini memberikan kewenangan otonomi khusus kepada Aceh dalam bidang agama, adat, dan pendidikan.


Gerakan GAM dan Konflik Bersenjata

Ketegangan antara Aceh dan pemerintah pusat kembali memuncak pada tahun 1976 ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro. GAM menuntut pemisahan Aceh dari Indonesia dengan alasan ketidakadilan ekonomi, eksploitasi sumber daya alam oleh pemerintah pusat, dan pelanggaran HAM.

Konflik ini berlangsung selama hampir tiga dekade, memakan ribuan korban jiwa, dan menyebabkan instabilitas sosial dan ekonomi di wilayah Aceh. Pemerintah pusat menerapkan status daerah operasi militer (DOM), yang menimbulkan ketakutan dan trauma di kalangan masyarakat.

Upaya perdamaian sempat dilakukan beberapa kali, namun baru membuahkan hasil setelah bencana dahsyat tsunami melanda Aceh pada Desember 2004. Tragedi kemanusiaan ini membuka jalan dialog antara GAM dan pemerintah Indonesia.


Perjanjian Helsinki dan Keistimewaan Aceh

Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani Perjanjian Damai Helsinki di Finlandia. Perjanjian ini menjadi tonggak penting bagi perdamaian Aceh. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia mengakui hak otonomi khusus bagi Aceh, termasuk dalam bidang politik, hukum, dan ekonomi.

Sebagai bentuk implementasi dari perjanjian tersebut, disahkanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengukuhkan status Aceh sebagai Daerah Istimewa dan Daerah Otonomi Khusus (Otsus). UU ini memberikan hak kepada Aceh untuk menerapkan syariat Islam, membentuk partai politik lokal, serta mengelola sumber daya alamnya secara mandiri.

Baca juga: Sistem Pemerintahan Tradisional dalam Kerajaan di Bali


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.