Sunda Kelapa adalah pelabuhan penting yang telah memainkan peran strategis sejak masa kerajaan Hindu-Buddha, masa kejayaan Islam, hingga kolonialisme Eropa. Perlawanan Rakyat terhadap Kolonialisme di Sunda Kelapa (Abad ke-18–19), kawasan ini tidak hanya menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan, tetapi juga menjadi saksi bisu perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
Perlawanan rakyat di Sunda Kelapa tidak terjadi secara terisolasi. Ia merupakan bagian dari gelombang besar penolakan terhadap kolonialisme yang menjalar di berbagai wilayah Nusantara. Rakyat dari berbagai lapisan—petani, buruh pelabuhan, pedagang lokal, hingga tokoh agama—terlibat dalam berbagai bentuk perjuangan, baik yang terorganisir maupun sporadis.
Artikel ini akan membahas latar belakang kolonialisme Belanda di Sunda Kelapa, bentuk-bentuk perlawanan rakyat pada abad ke-18 dan 19, serta dampaknya terhadap dinamika sosial dan politik di kawasan tersebut.
Sunda Kelapa dalam Cengkeraman Kolonialisme
Setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) membangun kekuasaan di Batavia pada awal abad ke-17, Sunda Kelapa dijadikan pusat kendali ekonomi dan politik kolonial Belanda di barat Nusantara. Pada abad ke-18, meski VOC mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1799, kekuasaan digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Kolonialisme yang dilakukan VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda di Sunda Kelapa bersifat eksploitatif. Rakyat dipaksa bekerja di pelabuhan, membayar pajak tinggi, dan tunduk pada peraturan perdagangan yang membatasi kebebasan ekonomi mereka. Ketidakadilan inilah yang menjadi pemicu utama perlawanan rakyat.
Latar Belakang Perlawanan Rakyat
1. Penindasan Ekonomi dan Monopoli Dagang
VOC memberlakukan sistem monopoli perdagangan rempah-rempah dan produk pertanian, memaksa rakyat menjual hasil panen dengan harga murah. Sistem ini tetap diberlakukan oleh pemerintah kolonial setelah VOC bubar. Para petani dan pedagang lokal dirugikan besar-besaran.
2. Kerja Paksa dan Kuli Pelabuhan
Pelabuhan Sunda Kelapa bergantung pada tenaga kerja rakyat pribumi. Banyak di antara mereka dipaksa bekerja dalam kondisi berat, tanpa upah yang layak. Sistem kerja paksa atau kerja rodi menjadi praktik umum yang memicu kemarahan rakyat.
3. Ketimpangan Sosial dan Diskriminasi
Struktur sosial kolonial menempatkan warga Eropa dan elite lokal di posisi tertinggi, sedangkan rakyat biasa mengalami diskriminasi hukum dan sosial. Hak-hak politik rakyat pribumi diabaikan, sementara kekayaan hanya dinikmati segelintir orang.
Bentuk Perlawanan Rakyat
1. Perlawanan Petani dan Buruh Pelabuhan
Pada abad ke-18, tercatat berbagai aksi mogok dan perlawanan terbuka dari kelompok buruh dan petani. Mereka menolak pajak tinggi dan kerja paksa. Salah satu contoh adalah aksi perlawanan petani di sekitar pelabuhan yang membakar gudang logistik VOC sebagai bentuk protes.
2. Dukungan dari Tokoh Agama
Beberapa tokoh agama, terutama dari kalangan ulama dan santri, ikut mendukung perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menganggap kekuasaan Belanda sebagai bentuk penindasan yang bertentangan dengan nilai keadilan. Masjid dan pesantren menjadi tempat konsolidasi perlawanan.
3. Penyelundupan dan Perlawanan Ekonomi
Sebagian rakyat melawan dengan cara diam-diam, seperti menyelundupkan hasil bumi keluar dari pelabuhan tanpa melalui sistem resmi. Ini dilakukan untuk menghindari pajak dan mendapatkan harga yang lebih layak di pasar gelap.
4. Dukungan terhadap Perang Jawa (1825–1830)
Selama Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, banyak simpatisan dari Batavia dan Sunda Kelapa ikut memberikan dukungan. Meskipun perlawanan ini dipadamkan, semangatnya menyebar ke kota-kota pelabuhan lain.
Tokoh dan Kelompok yang Terlibat
1. Buruh Pelabuhan Lokal
Kelompok ini menjadi kekuatan utama perlawanan di lapangan. Mereka mengenal medan pelabuhan, memiliki solidaritas tinggi, dan langsung merasakan dampak dari kebijakan kolonial.
2. Ulama Lokal
Beberapa ulama dari Betawi dan sekitarnya menggunakan jaringan keagamaan untuk menyebarkan semangat anti-kolonial. Mereka mendidik generasi muda untuk mengenali ketidakadilan dan pentingnya perjuangan.
3. Pedagang Pribumi
Pedagang lokal juga terkena dampak sistem monopoli Belanda. Mereka sering kali kehilangan akses pasar dan mendukung aksi-aksi boikot produk Belanda sebagai bentuk protes ekonomi.
Baca juga: Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Kebijakan Eksploitasi Kolonial di Indonesia
Respons Pemerintah Kolonial
Pemerintah Hindia Belanda merespons dengan tindakan represif, seperti penangkapan massal, pembatasan aktivitas keagamaan, hingga pembakaran pemukiman yang dicurigai mendukung pemberontakan.
Pemerintah juga menggunakan strategi devide et impera (adu domba) antara kelompok pribumi, Tionghoa, dan Arab untuk mencegah penyatuan kekuatan anti-kolonial.
Namun, represi ini hanya memunculkan perlawanan baru dalam bentuk yang lebih terorganisir dan menyebar ke wilayah lain.
Dampak Jangka Panjang Perlawanan Rakyat
1. Meningkatnya Kesadaran Kolektif
Meski perlawanan sering dipadamkan, pengalaman pahit tersebut menyatukan kesadaran kolektif rakyat tentang pentingnya kemerdekaan dan hak-hak mereka. Kesadaran ini menjadi benih bagi gerakan kebangsaan pada awal abad ke-20.
2. Perubahan Strategi Kolonial
Pemerintah kolonial mulai menyadari bahwa represi tidak selalu efektif. Pada akhir abad ke-19, mereka mulai membuka akses pendidikan dan reformasi administrasi sebagai cara untuk “menjinakkan” rakyat, meski motifnya tetap kolonial.
3. Warisan Semangat Perlawanan
Warisan semangat perlawanan rakyat Sunda Kelapa tetap hidup dan dikenang dalam sejarah perjuangan nasional. Kawasan pelabuhan ini menjadi simbol kekuatan rakyat melawan penindasan asing.
Kesimpulan
Perlawanan rakyat terhadap kolonialisme di Sunda Kelapa pada abad ke-18 dan 19 adalah wujud nyata dari semangat anti-penjajahan yang kuat di Nusantara. Meskipun tidak selalu tercatat dalam sejarah besar, perjuangan mereka di pelabuhan, pasar, masjid, dan jalanan kota Batavia telah meninggalkan jejak penting dalam narasi nasionalisme Indonesia.
Perlawanan yang bersifat lokal ini kemudian menjadi bagian dari jaringan luas perjuangan rakyat Nusantara melawan kolonialisme Belanda. Semangat kolektif, solidaritas antar kelompok, dan keteguhan hati dalam menentang ketidakadilan menjadi nilai-nilai penting yang diwariskan hingga kini.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa penyebab utama perlawanan rakyat di Sunda Kelapa pada abad ke-18 dan 19?
Penyebab utamanya adalah penindasan ekonomi melalui monopoli dagang, kerja paksa, dan ketimpangan sosial yang diterapkan oleh kolonial Belanda.
2. Siapa saja yang terlibat dalam perlawanan di Sunda Kelapa?
Buruh pelabuhan, petani, pedagang lokal, dan ulama menjadi kekuatan utama perlawanan terhadap kolonialisme di kawasan ini.
3. Bagaimana bentuk perlawanan rakyat terhadap kolonialisme?
Perlawanan dilakukan melalui mogok kerja, sabotase ekonomi, aksi protes, hingga keterlibatan dalam gerakan bersenjata yang lebih besar seperti Perang Jawa.
4. Apakah perlawanan di Sunda Kelapa berhasil?
Secara militer sebagian besar perlawanan dipadamkan, namun secara ideologis dan kultural, perlawanan ini berperan penting dalam membentuk kesadaran nasional.
5. Apa dampak dari perlawanan rakyat ini dalam jangka panjang?
Perlawanan ini menumbuhkan semangat kolektif anti-kolonial, mendorong reformasi kebijakan kolonial, dan menjadi inspirasi bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Referensi
- Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi.
- Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya Jilid II. Jakarta: Gramedia.
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). https://anri.go.id
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. https://jakarta.go.id
- Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah). https://museumsenibudaya.jakarta.go.id