Home » Sejarah » Kebijakan Kesehatan di Batavia: Wabah Penyakit dan Sanitasi Kota Kolonial
Posted in

Kebijakan Kesehatan di Batavia: Wabah Penyakit dan Sanitasi Kota Kolonial

Kebijakan Kesehatan di Batavia: Wabah Penyakit dan Sanitasi Kota Kolonial (ft.istimewa)
Kebijakan Kesehatan di Batavia: Wabah Penyakit dan Sanitasi Kota Kolonial (ft.istimewa)

Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta, merupakan kota penting pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan kemudian Hindia Belanda, Batavia tumbuh pesat sebagai kota pelabuhan dan administratif. Namun di balik kemegahan kolonialnya, Batavia dikenal pula sebagai sarang penyakit tropis dengan sanitasi buruk dan tingginya angka kematian, terutama di abad ke-17 hingga ke-19. Bagaimana Kebijakan Kesehatan di Batavia?

Artikel Kebijakan Kesehatan di Batavia ini mengulas bagaimana pemerintah kolonial Belanda menangani wabah penyakit, kebijakan kesehatan masyarakat, serta perubahan dalam sistem sanitasi kota Batavia. Kita juga akan melihat bagaimana kebijakan ini mencerminkan ketimpangan sosial dan warisan kota yang masih terasa hingga hari ini.


1. Batavia: Kota Rawan Wabah

Ketika VOC mendirikan Batavia pada tahun 1619, kota ini dirancang menyerupai kota-kota di Belanda, dengan sistem kanal dan benteng. Namun, perbedaan iklim tropis dan curah hujan tinggi membuat kanal-kanal itu menjadi tempat berkembangnya nyamuk dan bakteri.

Penyakit yang Merajalela
  • Malaria: Menjadi penyebab utama kematian, terutama di daerah dataran rendah dan rawa.
  • Kolera dan diare: Merebak karena buruknya sanitasi dan minimnya air bersih.
  • Pes (plague) dan cacar: Juga tercatat menjangkiti penduduk, terutama saat arus migrasi penduduk meningkat.

Pada abad ke-17, angka kematian penduduk Eropa sangat tinggi; diperkirakan lebih dari 60% orang Belanda yang tiba di Batavia tidak bertahan hidup lebih dari dua tahun.


2. Sanitasi yang Buruk dan Dampaknya

Batavia dibangun di atas lahan rawa-rawa. Kanal-kanalnya lambat mengalir, penuh lumpur, dan menjadi tempat berkembangnya jentik nyamuk. Sampah dan limbah rumah tangga langsung dibuang ke kanal-kanal tersebut. Hal ini menciptakan kondisi lingkungan yang sangat buruk.

Kondisi Air dan Limbah
  • Air minum banyak berasal dari sumur dangkal yang tercemar tinja.
  • Tidak ada sistem pembuangan air limbah yang layak.
  • Penduduk kelas bawah tinggal di perkampungan padat tanpa akses sanitasi.

Ketimpangan pun terjadi: para pejabat Belanda tinggal di rumah besar dengan taman dan akses ke air bersih, sementara masyarakat lokal terpaksa hidup di lingkungan kumuh yang rawan wabah.


3. Kebijakan Kesehatan Awal oleh VOC dan Pemerintah Hindia Belanda

VOC sebenarnya menyadari ancaman penyakit, terutama terhadap pegawai dan tentara mereka. Karena itu, mereka mulai menerapkan beberapa kebijakan dasar kesehatan:

a. Rumah Sakit Militer dan Sipil

VOC membangun rumah sakit untuk merawat pegawainya, seperti Rumah Sakit Binnen Hospitaal dan kemudian Rumah Sakit Weltevreden pada abad ke-19.

Namun, pelayanan kesehatan lebih difokuskan untuk orang Eropa, sementara masyarakat lokal hanya mendapat perawatan terbatas atau diarahkan ke dukun dan tabib.

b. Pemindahan ke Weltevreden

Karena Batavia Utara dianggap terlalu tidak sehat, pada awal abad ke-19, pusat pemerintahan secara bertahap dipindahkan ke daerah Weltevreden (kini Gambir dan sekitarnya) yang memiliki udara lebih segar dan lebih jauh dari rawa-rawa.


4. Kampanye Melawan Wabah dan Reformasi Kesehatan

Masuknya ilmu kedokteran modern pada akhir abad ke-19 membawa perubahan besar dalam kebijakan kesehatan kolonial.

a. Pemberantasan Kolera dan Cacar
  • Pemerintah kolonial mulai menjalankan vaksinasi cacar massal di awal 1900-an.
  • Kampanye kebersihan digalakkan, meski penerapannya masih terbatas pada wilayah elite.
b. Didirikannya Lembaga Penelitian Kesehatan

Tahun 1888, didirikan Laboratorium Pasteur di Batavia yang kemudian berkembang menjadi Lembaga Eijkman, pusat penelitian penyakit menular dan tropis.

c. Regulasi Sanitasi dan Urbanisasi
  • Dibangun sistem drainase baru di beberapa bagian kota.
  • Diperkenalkan sistem pengelolaan sampah modern (meski terbatas).
  • Pemerintah kolonial juga mulai menerapkan pemisahan zona berdasarkan ras, yang turut mempengaruhi pola pemukiman dan akses kesehatan.

5. Sistem Kesehatan Dualistik: Belanda vs Pribumi

Kebijakan kesehatan kolonial memiliki watak dualistik:

  • Orang Eropa mendapat akses ke rumah sakit, dokter, dan obat-obatan modern.
  • Pribumi dan Tionghoa hanya dilayani oleh dokter bumiputra, puskesmas sederhana, atau bahkan tidak dilayani sama sekali.

Perbedaan ini menciptakan ketimpangan kesehatan struktural yang dampaknya masih terasa pada akses pelayanan kesehatan modern di beberapa wilayah Jakarta hingga kini.

Baca juga: Serangan Umum 1 Maret 1949: Bukti Ketahanan Indonesia Melawan Belanda


6. Warisan dan Pengaruh terhadap Jakarta Modern

Meski banyak aspek kota kolonial ditinggalkan, beberapa kebijakan dan infrastruktur masih menjadi dasar sistem kesehatan modern di Jakarta:

a. Warisan Infrastruktur
  • Beberapa rumah sakit seperti RS Cipto Mangunkusumo (RSCB) dan RS PGI Cikini berakar dari sistem kolonial.
  • Pola kanal dan drainase di Jakarta hari ini masih mengikuti jalur lama Batavia.
b. Pola Penanganan Wabah
  • Respons terhadap pandemi COVID-19, misalnya, masih menunjukkan warisan pendekatan terpusat dan birokratis khas kolonial.
c. Ketimpangan Akses Kesehatan
  • Masyarakat kelas bawah di wilayah padat Jakarta masih mengalami masalah sanitasi dan air bersih, kondisi yang menyerupai Batavia masa lalu.

Kesimpulan

Batavia sebagai kota kolonial memiliki sejarah panjang mengenai tantangan kesehatan, wabah penyakit, dan upaya sanitasi yang mencerminkan konflik antara kepentingan kolonial dan kesejahteraan rakyat lokal. Dari kota penuh kanal yang mematikan hingga kampanye vaksinasi cacar, warisan kebijakan kesehatan ini membentuk Jakarta modern.

Kebijakan Kesehatan di Batavia, kebijakan yang awalnya diskriminatif lambat laun berkembang menjadi sistem kesehatan nasional yang lebih inklusif, namun tantangan seperti ketimpangan akses, sanitasi, dan urbanisasi ekstrem masih menjadi warisan yang harus terus diatasi.


FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

1. Mengapa Batavia disebut kota yang tidak sehat pada masa kolonial?

Karena Batavia dibangun di atas rawa-rawa, dengan kanal yang lambat mengalir dan buruknya sistem sanitasi, kota ini menjadi sarang penyakit seperti malaria, kolera, dan diare.

2. Apa saja penyakit utama yang mewabah di Batavia?

Penyakit seperti malaria, kolera, cacar, dan pes sering mewabah di Batavia, menyebabkan tingginya angka kematian, terutama di kalangan pendatang Eropa.

3. Bagaimana kebijakan sanitasi diterapkan oleh Belanda?

Belanda membangun kanal, rumah sakit, dan pusat pemerintahan baru di Weltevreden, serta memperkenalkan vaksinasi dan sistem drainase di wilayah-wilayah elite.

4. Apakah kebijakan kesehatan kolonial adil untuk semua warga?

Tidak. Sistem kesehatan kolonial bersifat diskriminatif, mengutamakan orang Eropa dan membatasi layanan bagi pribumi.

5. Apa warisan kebijakan kesehatan Batavia untuk Jakarta saat ini?

Warisan tersebut mencakup sistem rumah sakit besar, pola drainase kota, pendekatan sentralistik dalam pengendalian penyakit, dan tantangan ketimpangan akses kesehatan.


Referensi

  • Colombijn, Freek. Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century. Leiden: KITLV Press.
  • Abeyasekere, Susan. Jakarta: A History. Singapore: Oxford University Press.
  • Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
  • Kementerian Kesehatan RI
  • Jakarta.go.id – Sejarah Sanitasi Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.