Kesultanan Cirebon merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di pesisir utara Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Berdiri pada abad ke-15, Sejarah Kesultanan Cirebon berkembang sebagai pusat perdagangan, budaya, dan dakwah Islam. Keberadaannya turut memperkuat jaringan kesultanan-kesultanan Islam yang tumbuh subur di wilayah Nusantara.
Artikel ini akan mengupas secara lengkap sejarah Kesultanan Cirebon, mulai dari latar belakang berdirinya, tokoh pendiri, perkembangan politik dan budaya, hingga puncak masa kejayaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.
Awal Berdirinya Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon lahir dari perpaduan antara kekuasaan lokal dan pengaruh Islam yang mulai menyebar di pesisir utara Jawa pada abad ke-15. Awalnya, Cirebon merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Bogor. Wilayah ini dikenal sebagai pusat pelabuhan dan perdagangan yang ramai, dengan nama asal “Caruban” yang berarti campuran, merujuk pada keberagaman etnis dan budaya di wilayah tersebut.
Pendiri utama Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi (raja Pajajaran) dari istrinya yang memeluk Islam. Bersama adiknya, Nyi Rara Santang, Pangeran Walangsungsang meninggalkan istana Pajajaran karena ingin memeluk Islam, yang saat itu belum diterima oleh istana kerajaan Sunda.
Mereka kemudian berguru kepada Syekh Quro, seorang ulama dari Persia yang menetap di Karawang, dan akhirnya bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi, ulama dari Baghdad yang menetap di Gunung Jati. Di bawah bimbingan Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang mendalami Islam dan kemudian membangun sebuah pemerintahan mandiri di daerah Lemahwungkuk, yang kelak menjadi cikal bakal Kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1430-an, Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Cakrabuwana, dan pada masa ini dimulailah pembangunan istana dan tata kota awal Cirebon.
Peran Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi dan Politik
Tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Kesultanan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati (nama asli: Syarif Hidayatullah), putra Nyi Rara Santang dan seorang bangsawan Mesir, Syarif Abdullah.
Sunan Gunung Jati melanjutkan misi dakwah dan politik yang telah dirintis oleh pamannya, Cakrabuwana. Ia mendirikan Kesultanan Cirebon secara resmi pada tahun 1479, dengan dirinya sebagai sultan pertama. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Cirebon memperkuat identitasnya sebagai kerajaan Islam dan menjalin hubungan erat dengan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai salah satu Wali Songo, yakni sembilan wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Selain sebagai pemimpin spiritual, beliau juga sukses membangun sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam, memperkuat perdagangan dengan berbagai kerajaan di Asia Tenggara, serta memperluas pengaruh politik ke wilayah Priangan dan Banten.
Masa Kejayaan Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon mencapai masa kejayaan pada abad ke-16. Beberapa faktor yang menyebabkan Cirebon berkembang pesat antara lain:
1. Letak Strategis
Cirebon terletak di jalur perdagangan penting di pantai utara Jawa, sehingga menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari Tiongkok, Arab, Gujarat, hingga Malaka.
2. Perdagangan dan Ekonomi
Cirebon menjadi pusat distribusi hasil bumi dari pedalaman Jawa ke luar negeri. Komoditas seperti beras, rempah-rempah, dan hasil kerajinan menjadi andalan ekspor. Cirebon juga menjadi sentra produksi batik dan kerajinan perak.
3. Penyebaran Islam
Sebagai pusat dakwah, Cirebon mengirimkan ulama dan mubaligh ke wilayah-wilayah sekitar, termasuk ke daerah Sunda dan Priangan. Ini memperluas pengaruh budaya Islam dan memperkuat jaringan sosial.
4. Seni dan Budaya
Cirebon mengembangkan kesenian yang khas, seperti Tari Topeng Cirebon, musik Gamelan Sekaten, dan seni batik dengan motif megamendung. Seni arsitektur seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman juga mencerminkan perpaduan budaya Islam, Hindu, Tiongkok, dan Eropa.
5. Keraton sebagai Pusat Pemerintahan
Terdapat tiga keraton utama di Cirebon: Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Keraton-keraton ini menjadi pusat budaya, pemerintahan, dan agama. Bangunannya masih berdiri hingga kini dan menjadi situs sejarah penting.
Baca juga: Jejak Arsitektur Belanda di Malang: Kota Sejuk dengan Nuansa Kolonial
Perpecahan dan Kemunduran
Meskipun pernah mengalami kejayaan, Kesultanan Cirebon mulai mengalami kemunduran pada abad ke-17 hingga ke-18 akibat konflik internal dan tekanan dari luar.
1. Perebutan Kekuasaan
Setelah wafatnya penguasa yang kuat, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pewaris takhta. Akibatnya, Cirebon terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
2. Intervensi Belanda
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memanfaatkan konflik internal Cirebon untuk memperluas pengaruhnya. Belanda mulai ikut campur dalam penunjukan sultan dan mengikat Cirebon dalam perjanjian-perjanjian yang melemahkan kedaulatan kerajaan.
3. Pengaruh Politik dari Luar
Selain Belanda, Kesultanan Mataram dan Banten juga berusaha menguasai wilayah Cirebon. Hal ini membuat Cirebon kehilangan otonomi politiknya dan menjadi daerah penyangga bagi kekuatan besar di sekitarnya.
Warisan Kesultanan Cirebon
Meskipun Kesultanan Cirebon tidak lagi berkuasa secara politik, warisan budayanya tetap hidup hingga sekarang. Beberapa peninggalan penting antara lain:
- Keraton Kasepuhan dan Kanoman: Masih berdiri dan menjadi tempat pelestarian budaya serta destinasi wisata sejarah.
- Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Salah satu masjid tertua di Indonesia, dibangun atas perintah Sunan Gunung Jati.
- Tradisi Grebeg Syawal dan Panjang Jimat: Upacara tradisional yang masih dijalankan sebagai simbol perayaan Islam dan budaya lokal.
- Seni batik dan tari Cirebonan: Terus berkembang dan menjadi identitas masyarakat Cirebon.
Kesimpulan
Kesultanan Cirebon adalah salah satu kerajaan Islam penting di Nusantara yang berperan besar dalam penyebaran Islam, perdagangan, dan pembentukan budaya Jawa Barat. Dengan tokoh sentral seperti Sunan Gunung Jati, Sejarah Kesultanan Cirebon tumbuh sebagai kerajaan yang religius, dinamis, dan terbuka terhadap budaya luar. Meskipun pada akhirnya terpecah dan mengalami kemunduran, warisan sejarah dan budaya Cirebon tetap hidup dan menjadi bagian penting dari identitas bangsa Indonesia.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Siapa pendiri Kesultanan Cirebon?
Pendiri awalnya adalah Pangeran Walangsungsang (Cakrabuwana), namun Kesultanan Cirebon secara resmi didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1479.
2. Apa peran Sunan Gunung Jati dalam sejarah Cirebon?
Sunan Gunung Jati adalah sultan pertama Cirebon sekaligus Wali Songo yang berperan besar dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat.
3. Apa saja peninggalan Kesultanan Cirebon yang masih ada?
Peninggalan yang masih bisa dilihat antara lain Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, seni batik megamendung, dan tari topeng Cirebon.
4. Mengapa Kesultanan Cirebon mengalami kemunduran?
Karena konflik internal antar pewaris takhta, intervensi Belanda (VOC), dan pengaruh politik dari kerajaan tetangga seperti Mataram dan Banten.
5. Apakah Kesultanan Cirebon masih ada sekarang?
Secara politik tidak lagi berdaulat, namun institusi keraton masih ada sebagai simbol budaya dan adat masyarakat Cirebon.
Referensi
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.
- Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II – Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia, 2005.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
- Situs Resmi Keraton Kasepuhan Cirebon: https://www.keratonkasepuhan.com
- Ensiklopedia Islam. Departemen Agama Republik Indonesia, 2002.