Di antara deretan kerajaan besar di Sulawesi seperti Gowa, Bone, atau Ternate, nama Kerajaan Mandar sering luput dari perhatian. Padahal, kerajaan-kerajaan Mandar pernah menjadi kekuatan penting di pesisir barat Pulau Sulawesi, khususnya di wilayah yang kini menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Kerajaan-kerajaan ini memiliki peran strategis dalam jalur perdagangan maritim Nusantara, menyebarkan Islam, dan membangun identitas budaya khas etnis Mandar. Mari kita telusuri mendalam Kerajaan Mandar: Jejak Sejarah di Sulawesi Barat yang Terlupakan!
Meski tak sepopuler kerajaan-kerajaan besar lainnya, sejarah Mandar menyimpan nilai penting dalam membentuk peradaban lokal yang masih hidup hingga kini. Artikel ini mengupas jejak sejarah, struktur sosial, pengaruh Islam, serta warisan budaya dari kerajaan-kerajaan Mandar yang mulai terlupakan, namun patut dikenang.
Sejarah Singkat Kerajaan Mandar
Istilah “Kerajaan Mandar” sebenarnya mengacu pada 17 kerajaan tradisional yang berdiri di wilayah Mandar, yang terbagi menjadi:
- 7 Kerajaan Pitu Ulunna Salu (pegunungan)
- 7 Kerajaan Pitu Ba’ba’na Binanga (pesisir)
- 3 Kerajaan Tanaq Beq (wilayah transisi atau penyangga)
Kerajaan-kerajaan ini tidak bersatu secara politik seperti kerajaan besar lainnya, tetapi memiliki ikatan adat dan budaya yang kuat, serta membentuk aliansi pertahanan dan perdagangan.
Beberapa nama kerajaan penting di wilayah Mandar:
- Balanipa
- Sendana
- Banggae
- Pamboang
- Tappalang
- Tutar
- Rantebulahan
- Aralle
- Mambi
Kerajaan-kerajaan ini berkembang sejak abad ke-14 hingga kedatangan penjajah Eropa, terutama Belanda. Meskipun kecil, kerajaan-kerajaan Mandar menjalin relasi diplomatik dan perdagangan dengan kerajaan di Makassar, Bugis, hingga Ternate dan Tidore.
Struktur Pemerintahan dan Sosial
Pemerintahan di kerajaan-kerajaan Mandar berbentuk monarki tradisional yang dipimpin oleh raja yang disebut Tomakaka. Sistem ini diatur berdasarkan hukum adat yang dikenal sebagai Adaq Mandar.
Struktur sosial dalam masyarakat Mandar umumnya terdiri atas:
- Kaum bangsawan (Maradika)
Mereka adalah keturunan penguasa dan pemimpin adat. - Kaum biasa (Tau di Palili’)
Rakyat umum yang memiliki tanah dan hak adat. - Kaum bawah (Ata’)
Kaum buruh, pelayan, atau budak yang statusnya diwariskan.
Hubungan antarkerajaan diatur melalui sistem aliansi adat dan pengakuan wilayah masing-masing. Ketika menghadapi ancaman luar, mereka bersatu dalam semangat “Sayyang Pattu’duang” (kuda yang menari), sebagai simbol persatuan.
Pengaruh Islam di Wilayah Mandar
Islam masuk ke wilayah Mandar pada abad ke-17, dibawa oleh pedagang dari Makassar, Bone, dan Minangkabau. Para raja Mandar kemudian memeluk Islam dan menyebarkannya melalui pendekatan budaya dan adat.
Beberapa bentuk akulturasi antara adat dan Islam di Mandar antara lain:
- Sayyang Pattudu’: Tradisi perayaan khatam Al-Qur’an yang dilakukan dengan arak-arakan kuda berhias.
- Festival Maulid: Perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang berlangsung meriah di berbagai kerajaan Mandar.
- Hukum adat disinergikan dengan hukum Islam: Terutama dalam hal waris, pernikahan, dan etika sosial.
Islam juga memperkuat posisi elite kerajaan, karena ulama (anna guru) menjadi penasehat raja dan pemimpin spiritual masyarakat.
Hubungan dengan Kerajaan Gowa dan Belanda
Pada masa kejayaan Kerajaan Gowa (abad ke-16 hingga 17), kerajaan-kerajaan Mandar berada di bawah pengaruhnya. Namun, ketika Belanda menaklukkan Gowa (1667) melalui Perjanjian Bongaya, Mandar menolak tunduk.
Perlawanan Mandar terhadap Belanda menjadi salah satu bentuk perlawanan panjang di Sulawesi Barat. Pasukan kerajaan-kerajaan Mandar kerap melakukan serangan gerilya dan menolak kerja sama dagang dengan VOC.
Hal ini menyebabkan VOC menilai Mandar sebagai wilayah yang “sulit dijinakkan”. Baru pada abad ke-19 Belanda bisa menundukkan kerajaan-kerajaan Mandar melalui diplomasi dan tekanan militer.
Kemunduran dan Integrasi ke Indonesia
Setelah masuknya kolonialisme Belanda, otonomi kerajaan Mandar mulai berkurang. Mereka dijadikan bagian dari “Onderafdeeling Mandar” di bawah administrasi Hindia Belanda. Sistem adat mulai dipinggirkan dan para raja hanya dijadikan pemimpin simbolis.
Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar kerajaan Mandar dibubarkan secara administratif. Namun, peran adat dan budaya tetap bertahan melalui tokoh adat, ritual, dan nilai-nilai sosial yang diwariskan turun-temurun.
Warisan Budaya Kerajaan Mandar
Meskipun status kerajaan telah hilang, warisan budaya Mandar masih hidup dan berkembang. Beberapa peninggalan budaya yang menonjol meliputi:
1. Sayyang Pattudu’ (Kuda Menari)
Merupakan ikon budaya Mandar yang dikenal luas di Indonesia. Tradisi ini biasa digelar saat perayaan khatam Al-Qur’an dan hari besar Islam.
2. Sandeq
Perahu tradisional masyarakat Mandar yang dikenal sebagai kapal tercepat di Nusantara. Sandeq digunakan untuk perdagangan dan pelayaran antarpulau.
3. Lipa Saqbe Mandar
Kain tenun khas Mandar yang terkenal dengan motifnya yang rumit dan berkelas. Dulu hanya dipakai kaum bangsawan, kini menjadi identitas budaya.
4. Hukum Adat (Adaq)
Masih diberlakukan di berbagai desa di Sulawesi Barat untuk mengatur pernikahan, waris, dan penyelesaian sengketa.
Baca juga: Bahasa Belanda dalam Kosakata Indonesia: Jejak Kolonial yang Masih Digunakan
Mengapa Jejak Sejarah Mandar Sering Terlupakan?
Beberapa alasan mengapa sejarah kerajaan Mandar kurang populer dibanding kerajaan lain di Sulawesi:
- Minimnya dokumentasi tertulis. Sebagian besar sejarah Mandar diturunkan secara lisan.
- Lokasi yang jauh dari pusat kekuasaan kolonial seperti Makassar atau Manado.
- Kurangnya pelibatan kerajaan Mandar dalam narasi nasionalisme awal abad ke-20.
- Fokus sejarah nasional lebih dominan pada kerajaan besar atau tokoh yang berperan dalam kemerdekaan.
Namun, saat ini upaya pelestarian sedang digalakkan oleh pemerintah daerah Sulawesi Barat, komunitas adat, dan peneliti sejarah lokal.
Kesimpulan
Kerajaan-kerajaan Mandar memainkan peran penting dalam sejarah lokal Sulawesi Barat. Dengan struktur sosial adat, peran diplomatik dalam perdagangan maritim, hingga penyebaran Islam, kerajaan Mandar patut diperhitungkan sebagai bagian dari warisan peradaban Nusantara.
Meskipun sebagian besar telah hilang secara administratif, jejaknya masih terlihat dalam budaya, hukum adat, hingga nilai-nilai sosial masyarakat Mandar saat ini. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengangkat kembali Kerajaan Mandar: Jejak Sejarah di Sulawesi Barat yang Terlupakan agar tidak terhapus dari memori kolektif bangsa.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apakah Kerajaan Mandar itu satu kerajaan besar?
Tidak. Kerajaan Mandar terdiri dari 17 kerajaan kecil yang membentuk konfederasi adat di wilayah Sulawesi Barat.
2. Apa nama kerajaan terbesar di Mandar?
Salah satu yang paling berpengaruh adalah Kerajaan Balanipa, terutama dalam bidang diplomasi dan kebudayaan.
3. Apakah Kerajaan Mandar ikut serta melawan penjajah?
Ya. Kerajaan-kerajaan Mandar menolak Perjanjian Bongaya dan menjadi salah satu wilayah yang lama ditundukkan Belanda.
4. Apa warisan budaya terkenal dari Mandar?
Warisan budaya terkenal antara lain perahu Sandeq, Sayyang Pattudu’, Lipa Saqbe Mandar, dan hukum adat Mandar (Adaq).
5. Apakah budaya kerajaan Mandar masih hidup?
Masih. Banyak tradisi dan adat Mandar yang terus dijaga hingga kini, terutama dalam perayaan agama, budaya maritim, dan hukum adat.
Referensi
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Islam Nusantara dan Peradaban Lokal.
- Hamid, Abdul. Sejarah Mandar. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
- Dinas Kebudayaan Sulawesi Barat – https://disbud.sulbarprov.go.id
- Ensiklopedia Kerajaan Nusantara, LIPI.
- Wahyuddin, A. Kerajaan-Kerajaan Mandar dan Tradisi Bahari. Universitas Sulawesi Barat, 2022.
- UNESCO – Intangible Cultural Heritage of Indonesia.